Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

MALUKU EKSPOR BERAS

Andriko  Noto  Susanto Ambon, 28 Desember 2011        Salah satu indikator penting kinerja pemerintah adalah terpenuhinya kebutuhan pangan secara cukup dan berkwalitas berdasarkan prinsip-prinsip kemandirian pangan. Target surplus 10 juta ton beras sampai tahun 2014, akhirnya dijadikan agenda penting kementerian pertanian yang harus didukung oleh seluruh provinsi di Indonesia termasuk Maluku. Pencapaian surplus ini dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu menurunkan konsumsi beras dan meningkatkan produksi beras. Penurunan konsumsi beras dapat dicapai melalui   diversifikasi pangan berbasis sumberdaya dan budaya lokal. Pemerintah berencana menurunkan konsumsi beras sebesar 1,5 persen per kapita per tahun. Penurunan ini menjadi bermakna karena diharapkan akan meningkatkan usaha budidaya pangan selain padi sawah. Usaha ini diharapkan mampu berkontribusi dalam menurunkan angka kerawanan pangan dunia yang mencapai 1,02 miliar orang atau 15,8 persen dari jumlah total penduduk dunia.      

The Ultimate of Green Revolution

    Andriko   Noto  Susanto     Jogja, 16 Oktober  2011  Grontol Jagung   Doeloe kakek saya selalu marah kalau kita anak kecil makan nasi piringnya tidak bersih, berceceran, atau tidak dihabiskan. Kakek saya lahir tahun 1921, sekarang berumur 90 tahun. Beliau begitu sedih jika melihat makanan terbuang-buang; dan langsung terkenang pengalaman paling mengharukan yaitu saat menderita ‘ larang pangan’ . Era itu begitu kelam sehingga bonggol pisangpun diolah untuk dimakan. Kasus busung lapar, gizi buruk, merajalelanya wabah penyakit, pencurian/perampokan bahan pangan, dan tingginya angka kematian membuat masyarakat begitu menderita. Kemarau panjang, meluasnya serangan hama dan penyakit tanaman, gagal panen, tekanan akibat penjajahan, dan instabilitas politik pasca kemerdekaan semakin menyempurnakan penderitaan waktu itu. Masa itu dikenal dengan jaman ‘ pagebluk ’ : kematian ada dimana-mana, desa bau mayat, miris dan mencekam. Saya yang lahir Tahun 1972 masih sedikit mengalami ma

BANGSA PEMAKAN BERAS : Antara Keinginan, Tantangan dan Ancaman

Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta, 24 Juli 2011 R ata-rata konsumsi beras dunia saat ini rata-rata adalah 60 kg/kapita/tahun, sama dengan konsumsi beras masyarakat Jepang. Thailand konsumsinya sedikit lebih tinggi yaitu 70 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia dan Brunei 80 kg/kapita/tahun. Tahukah sampean,       berapa konsumsi beras di Indonesia??? Setiap tahun, satu kepala penduduk Indonesia menghabiskan 139 kg, artinya 2,3 kali konsumsi Jepang, dan ± 2 kali Thailand dan 1,7 kali Malaysia. Bangsa kita adalah pemakan beras terbesar didunia !!!!.   ‘ K ebesaran’ bangsa ini sebagai pemakan beras tidak hanya karena konsumsi beras per kapita yang paling tinggi, tetapi jumlah penduduknya juga paling banyak. Saat ini penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta orang, meningkat hampir 5 kali dibanding Tahun 1920 (49,3 juta jiwa). Pertumbuhan penduduk kita memang cukup pesat, dari Tahun 1920 – 1960 bertambah 44,3 juta menjadi 93,6 juta. Selang 50 tahun berik

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi

MERENCANAKAN PENGEMBANGAN PANGAN LOKAL DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT DAN MALUKU BARAT DAYA : Satu Upaya Mewujudkan Kemandirian Pangan

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 20 Juli 2011   U paya mewujudkan kemandirian pangan barbasis sumberdaya lokal di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) dan Maluku Barat Daya (MBD) dihadapkan pada satu kendala utama yaitu belum tersedianya data yang akurat   sebagai dasar dalam membuat perencanaan. Kami Badang Litbang Pertanian bekerja sama dengan Pemda Kabupaten MTB dan Universitas Pattimura telah melakukan penelitian pangan lokal ini pada Tahun 2007. Tujuan penelitian adalah (1) Mengi dentifikasi sumber daya lahan dan sumber pangan lokal, (2) Menentukan pola konsumsi pangan pokok,   kecukupan luas lahan yang yang diperlukan dan prediksi beberapa tahun kedepan (3) Menyusun perencanaan pengembangan pangan lokal berdasarkan asumsi logis sesuai kondisi saat itu. Identifikasi lahan dari PRB skala 1:25.000 H asil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan peta Zona Agroekologi (ZAe) tersedia potensi lahan untuk pengembangan tanaman pangan seluas 185.687 ha. Laju ekstensifikasi berlang

MEMBUAT LUMBUNG PANGAN BERSAMA ALAM : Cara cerdas masyarakat Kepulauan Tanimbar bertahan hidup

Andriko  Noto  Susanto  Jogjakarta, 19 Juli 2011 K epulauan Tanimbar merupakan wilayah darat terluas di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Pulau Yamdena luasnya mencapai lebih dari 500.000 ha merupakan pulau terbesar di kepulauan ini.   Sumber pangan (karbohidrat) tradisional masyarakat umumnya jagung, padi ladang, ubi kayu, ubi jalar, umbi-umbian lain (uwi, gembili), pisang, dan sukun. Saat ini beras telah menggeser secara sangat nyata pangan tradisional tersebut karena mudahnya akses masyarakat terhadap beras melalui jalur perdagangan dan program pemerintah (beras raskin). Beras tersedia dengan sangat mudah di seluruh pelosok daerah dengan harga yang terjangkau, bahkan ‘gratis’.    Padi Hitam asli dari Tanimbar J auh sebelum beras (padi sawah) menggeser pola pangan tradisional, masyarakat asli memiliki cara bertahan hidup dengan cara bercocok tanam baik secara monokultur maupun polikultur. Padi lokal merah, padi hitam, jagung, kacan