Langsung ke konten utama

The Ultimate of Green Revolution

   Andriko   Noto  Susanto
    Jogja, 16 Oktober  2011 




Grontol Jagung
  Doeloe kakek saya selalu marah kalau kita anak kecil makan nasi piringnya tidak bersih, berceceran, atau tidak dihabiskan. Kakek saya lahir tahun 1921, sekarang berumur 90 tahun. Beliau begitu sedih jika melihat makanan terbuang-buang; dan langsung terkenang pengalaman paling mengharukan yaitu saat menderita ‘larang pangan’. Era itu begitu kelam sehingga bonggol pisangpun diolah untuk dimakan. Kasus busung lapar, gizi buruk, merajalelanya wabah penyakit, pencurian/perampokan bahan pangan, dan tingginya angka kematian membuat masyarakat begitu menderita. Kemarau panjang, meluasnya serangan hama dan penyakit tanaman, gagal panen, tekanan akibat penjajahan, dan instabilitas politik pasca kemerdekaan semakin menyempurnakan penderitaan waktu itu. Masa itu dikenal dengan jaman pagebluk : kematian ada dimana-mana, desa bau mayat, miris dan mencekam. Saya yang lahir Tahun 1972 masih sedikit mengalami masa itu namun dengan intensitas yang jauh berkurang. Menu harian waktu itu adalah kombinasi nasi tiwul; ‘gatot’; nasi jagung; ‘grontol’ jagung; ‘godokan’  telo, uwi, gembili, suweg; dan sedikit nasi beras (tentu saja dicampur tiwul atau jagung) dengan lauk seadanya; namun tetap kenyang.
<!--[if !vml]--><!--[endif]-->       Saya kira tidak ada program pemerintah yang paling mendesak dan rasional pada masa itu selain melepaskan penderitaan masyarakat dari kelaparan sebagai landasan kokoh membangun manusia seutuhnya. Pada tahun 1950 mulai dirintis Program Swa Sembada Bahan Makanan (SSBM). Program ini sangat visioner pada masa itu mengingat dicanangkan pada saat kondisi masyarakat benar-benar masih kurang makan (kecukupan kalori dan gizi masih rendah). Pada tahun ini juga dilancarkan program intensifikasi padi sawah dengan lima masukan utama yaitu perbaikan varietas unggul berumur genjah, perbaikan usaha bercocok tanam, pengelolaan air irigasi, pemupukan dan pemberantasan penyakit. Penerapan teknologi ‘Revolusi Hijau telah dimulai.
        Sepuluh tahun berikutnya (1960) diluncurkan terobosan teknologi varietas padi unggul berproduksi tinggi yang responsif terhadap pemupukan anorganik, berumur genjah yaitu PB-5 dan PB-8. Pembangunan sarana irigasi dilakukan dimana-mana sebagai proyek mercusuar. Selain itu perluasan areal tanam, peningkatan intensitas tanam, dan peningkatan sumberdaya pertanian beserta infrastruktur pendukungnya terus dicanangkan dan dituangkan dalam rencana pembangunan lima tahunan. Secara sistimatis diluncurkan program-program intensifikasi yaitu Bimas, Insus, Inmas, Inmun, Opsus dan Supra Insus. Program-program ini dikawal ketat secara lintas sektoral dengan resiko gagal rendah.
      Dampak dari implementasi program tersebut adalah telah terjadi peningkatan laju produksi beras dalam negeri secara sangat nyata yaitu 6,90% per tahun sampai tahun 1985. Produksi beras kita yang hanya tercatat 12,2 juta ton pada tahun 1969, telah meningkat tajam menjadi 25,0 juta ton pada tahun 1985. Laju peningkatan ini selanjutnya menurun menjadi hanya 2,70% hingga tahun 1997. Produksi beras hingga tahun 1997 berfluktuasi, dan pernah menurun menjadi 20 juta ton pada tahun 1994. Pada periode tahun 2000 – 2011, laju peningkatan produksi beras kita menurun lagi menjadi 2,34%. Produksi gabah tahun 2000 tercatat  49,2 juta ton (setara 27 juta ton beras), sedangkan tahun 2011 menjadi 64,06 juta ton (setara 36 juta ton beras).
      Peningkatan produksi yang tidak sebanding dengan peningkatan jumlah pemupukan sejak tahun 1985 inilah yang selanjutnya dijadikan justifikasi telah terjadi ‘leveling off’ produksi padi Nasional. Diduga ada dampak tidak menguntungkan dari penerapan pemupukan anorganik secara intensif terhadap kesuburan tanah dan produktivitas tanaman. Gejala ini sebenarnya telah dirasakan sejak  tahun 1982; namun tahun 1984 kita telah memproklamasikan diri sebagai negara swasembada beras. Peningkatan produksi padi kita secara nyata sangat ditentukan oleh peningkatan produktivitas. Produktivitas padi tahun 1970 hanya 2,65 ton/ha, kemudian secara berangsur angsur meningkat menjadi 3,58; 4,47; dan 4,63 berturut-turut pada tahun 1980, 1990 dan 2000. Sekarang produktivitas padi kita mencapai 5,25 ton/ha.
      Peningkatan produktivitas padi sawah kita berkorelasi positif sangat nyata dengan penggunaan pupuk anorganik (Urea, ZA, TSP, SP-36, dan KCl). Penggunaan pupuk tahun 1970 negara kita hanya 0,2 juta ton, telah meningkat menjadi 2 juta ton pada  tahun 1980, dan secara konsisten meningkat terus menjadi 3,75 juta pada tahun 1985. Pada tahun 1989 – 1998 penggunaan pupuk kita berkisar antara 4,6 – 4,8 juta ton dan kemudian  meningkat tipis sampai 2011 karena dihentikannya subsidi pupuk. Tercatat bahwa sejak tahun 1985 subsidi pupuk di kurangi, kemudian dicabut total pada tahun 1998. Agar ketersediaan pupuk ditingkat petani terjamin diseluruh wilayah Indonesia maka sejak tahun 2002 diberlakukan rayonisasi pupuk. Saat ini pupuk anorganik menjadi mahal dan kadangkala tidak ada dipasaran.

Keragaan Penggunaan Pupuk, Produksi dan Produktivitas Beras 1970 – 1998

      Pemikiran untuk segera memodifikasi teknologi ‘revolusi hijau’ akhir-akhir ini terus didiskusikan oleh banyak pakar. Kemampuan teknologi revolusi hijau telah maksimal dan cenderung berdampak kurang menguntungkan terhadap kesuburan tanah. Terjadi eksploitasi berlebihan daya dukung tanah untuk menghasilkan bahan pangan. Pengembalian dan peningkatan bahan organik tanah dipilih sebagai solusi yang paling rasional untuk tujuan ini. Bahan organik memiliki peran penting sebagai bahan bakar  bioreaktor tanah karena fungsinya sebagai aktivator, regulatur dan dinamisator kesetimbangan hara dalam tanah. Bahan organik sekaligus sebagai sumber nutrisi tanaman yang lengkap dengan ketersediaan cepat. Penurunan kualitas fisik, kimia dan biologi tanah terpulihkan jika kandungan bahan organik tanah minimal 3%. Namun demikian yang perlu diingat adalah bahwa revolusi hijau kita telah menyelamatkan jutaan umat manusia dari ancaman bahaya kelaparan. Angka kecukupan gizi dan kalori kita terus meningkat hingga saat ini, stok bahan pangan kita cukup, pembangunan sektor riil berjalan dan jelas kita rasakan terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahwa masih terjadi kelemahan disana-sini, ketimpangan, ketidakadilan, kesenjangan, dan kebijakan yang terasa tidak berpihak kepada rakyat kecil itu adalah bagian dari dinamika pembangunan. Kita sedang dan selalu berproses untuk menjadi lebih baik, bahwa ada yang belum tepat, mari kita tepatkan bersama-sama, demi kebaikan bangsa dan negara kita tercinta. Mari berbuat, jangan hanya menjadi pengamat.
     
Tantangan revolusi pangan kita
      Sudah saatnya para pakar, ilmuwan, dan peneliti untuk memikirkan suatu model matematik yang dapat memprediksi bagaimana tanah dan fungsinya berubah ketika manusia mengintensifkan penggunaannya. Para ilmuwan diarahkan untuk menciptakan sebuah desain solusi proaktif, misalnya untuk meningkatkan produksi panen tanpa mengesampingkan fungsi tanah lainnya. Desain model ini harus mampu menjawab secara akurat berapa kebutuhan pangan yang dibutuhkan pada ratusan tahun yang akan datang, dan bagaimana  cara mendapatkannya dengan tetap menjaga kelestarian tanah. Beberapa tantangan yang harus dijawab adalah :
  1. Konsumsi pangan terutama beras terus meningkat. Konsumsi beras untuk pangan, pakan dan industri rumah tangga kita per kapita per tahun saat ini adalah 139 kg  (terbesar didunia), sedangkan rata-rata dunia hanya 60 kg/kapita/tahun. Beras telah menjadi bahan pangan prestisius, dan menjadi penyebab lambatnya implementasi program diversifikasi pangan. Rupanya diversifikasi pangan kita tergantung seberapa hebat teknologi pengolahan pangan kita. Untuk makan godokan umbi-umbian tiap hari rasanya sudah tidak mungkin, namun mengkombinasikannya dalam satu formulasi mie instan mungkin dapat jadi terobosan. Konsumsi mie instant kita terus meningkat, dan mungkin suatu saat menggeser konsumsi ‘nasi beras’
  2. Jumlah penduduk terus meningkat. Saat ini penduduk Indonesia sekitar 237,6 juta orang, meningkat hampir 5 kali dibanding Tahun 1920 (49,3 juta jiwa). Pertumbuhan penduduk kita memang cukup pesat, dari Tahun 1920 – 1960 bertambah 44,3 juta menjadi 93,6 juta. Selang 50 tahun berikutnya (Tahun 2010) bertambah 144 juta lagi. Laju pertumbuhan saat ini adalah 1,49%, artinya setiap tahun penduduk bertambah sekitar 4,0 juta jiwa. Inilah yang mendorong kita bahwa apapun terobosan teknologi pengelolaan tanah termasuk sistem organic farming  harus tetap menjamin tidak boleh terjadi gangguan terhadap produksi pangan nasional, namun harus meningkat dan berkelanjutan. Disinilan kearifan ilmu pengetahuan kita diuji.
  3. Pergeseran pola konsumsi pangan. Pesona beras sampai saat ini memang masih populer. Tidak ada aturan yang melarang seseorang untuk mengkonsumsi bahan makanan selama berasal dari sumber yang benar dan halal. Kontribusi beras dalam pola konsumsi pangan masyarakat Pulau Jawa, Sumatra, Bali dan Nusa Tenggara Barat mencapai > 90%. Tahun 1996 proporsi beras dalam pola konsumsi masyarakat KTI telah mencapai 83,72% diikuti umbi-umbian 8,22%, serealia 4,65% dan terigu 3,41%. Masyarakat Provinsi Maluku dan Maluku Utara proporsi konsumsi berasnya telah mencapai 70,37% diikuti umbi-umbian termasuk sagu 23,63%, terigu 3,1% dan serealia 2,90%. Proporsi beras dalam pola konsumsi masyarakat KTI cenderung terus meningkat, seiring meningkatnya tingkat pendapatan. Hal ini juga menjadi penyebab kurang berkembangnya usahatani non beras dan rendahnya implementasi program diversifikasi pangan. Sekali lagi kearifan ilmu pengetahuan kita diuji untuk mendapatkan jalan tengah yang bijak.
  4. Kemampuan tanah memproduksi padi mulai menurun. Kesuburan tanah pertanian menunjukkan penurunan yang nyata. Kisaran produksi padi di Asia sebesar 6 – 9 ton/ha yang dicapai selama ini adalah berkat adanya terobosan teknologi pemupukan N. Tanpa pupuk N kisarannya hanya 5,6 – 4,0 ton/ha, dan cenderung terus menurun. Rata-rata produksi yang mampu diperoleh petani kita selama ini juga tidak lebih dari 5,25 ton/ha, walaupun potensi produksi varietas unggul baru bisa mencapai lebih dari 10 ton/ha. Kesuburan tanah harus terpulihkan, 70% lahan sawah Indonesia C organik < 2%. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya alih fungsi lahan sawah di Pulau Jawa dengan kecepatan sekitar 100.000 ha per tahun.
  5. Lahan marginal di luar pulau Jawa. Perluasan areal untuk usahatani padi sawah di Luar Jawa memiliki kendala mendasar yaitu rendahnya status kesuburan tanah, yang berdampak langsung pada rendahnya produktivitas. Luas panen padi sawah di luar Jawa sekarang ini mencapai 7,04 juta ha lebih besar dibanding luas panen di pulau Jawa sebesar 6,51 juta ha, namun total produksi yang diperoleh hanya sebesar 31,23 juta ton gabah, lebih kecil dibanding di pulau Jawa yang mencapai 36,83 juta ton, akibat produktivitas padi di pulau Jawa lebih besar (5,25 ton/ha) dibanding luar Jawa (4,43 ton/ha).
  6. Perubahan iklim global. Pemanasan global yang terjadi sekarang ini disatu sisi berdampak positif terhadap produktivitas tanaman pangan di wilayah temperate, grasslands dan tundra karena berdasarkan analisis-meta di lebih dari 12 lokasi penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu kurang dari 3 derajat celcius akan meningkatkan respirasi tanah sebesar 20%, meningkatkan laju mineralisasi bersih N 46%, dan produktivitas tanaman meningkat 19%. Namun didaerah tropis seperti Indonesia yang terjadi adalah peningkatan laju dekomposisi bahan organik tanah sehingga mempercepat kehilangan bahan organik dari dalam tanah.
  7. Ancaman kelaparan dunia. Penduduk dunia sekarang ini mencapai 10 milyar lebih. Untuk menjamin kebutuhan pangan dunia cukup, maka produksi pangan yang ada sekarang harus dapat ditingkatkan 2 – 3 kali lipat. Namun usaha ini justru terkendala pada masalah menurunnya kesuburan tanah dan alih fungsi lahan pertanian. Banyak negara maju telah melakukan proteksi terhadap produk pertanian mereka, langkah-langkah pengamanan pangan seperti kontrak kerja impor pangan jangka panjang. Sedangkan kita malah terjebak dengan sistem perdagangan bebas yang  boleh jadi merupakan perangkap besar dimasa depan. Kedaulatan pangan, harus lebih visioner….. mari rumuskan bahwa seribu tahun lagi atau sampai hari kiamat, pangan kita sampai kemana dan seperti apa. Yang pasti, pangan kita kedepan harus lebih baik, kelestarian lingkungan tetap terjaga, kesejahteraan petani/rakyat lebih terjamin, dan diberkahi  ALLOH SWT,  Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Catatan : Data dan informasi dalam tulisan ini dirangkum dari berbagai sumber

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

SUKUN KOTA TERNATE : SUMBER PANGAN YANG BELUM TERGARAP

Sukun ( Artocarpus communis ) merupakan komoditas hortikultura yang sudah dikenal dan berkembang di Maluku Utara. Buah sukun cukup banyak mengandung karbohidrat, sehingga mempunyai potensi sebagai bahan pangan alternatif untuk pengganti beras (diversivikasi pangan) dalam mendukung ketahanan pangan dan bahan olahan lainnya. Pada umumnya, buah sukun di Maluku Utara banyak dimanfaatkan sebagai makanan ringan (camilan), dengan direbus, digoreng maupun dibuat keripik. Untuk diversifikasi makanan, buah sukun dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.  Hasil inventarisasi sukun di Maluku Utara terdapat : (1) Populasi tersebar di semua Kabupaten/Kota di Maluku Utara, yang spesifik terdapat di Maitara dan Kepulauan Sula. Di Maitara ada dua jenis sukun, yaitu sukun telur dan sukun batu (nama lokal); (2) Tinggi pohon berkisar 10-15 m, dengan lebar kanopi + 5 m dari cabang-cabang yang melebar ke samping; (3) Rata-rata umur sukun di Maluku Utara pada