Langsung ke konten utama

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

 
Andriko  Noto  Susanto
Jogjakarta, 21 Juli 2011


Jalan utama Desa Debut
Desa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman.

Embal Lempeng
  
Keperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi kawasan penghasil  “Embal lempeng” dan “Kacang Botol”  terkenal di Kab. Maluku Tenggara.


Bahan baku pembuatan embal lempeng
Awalnya disebabkan oleh  begitu rakusnya si babi hutan, sehingga hanya ‘kasbi’ (ubikayu) pahit beracunlah yang tersisa di ladang. Berkat kegigihan masyarakat, kasbi pahit ini akhirnya diolah  dengan cara diparut, dimasukkan dalam karung, diperas dengan cara di ‘gepe’ dengan papan dan  ditindis dengan batu berhari-hari sampai tinggal ampas. Ampas inilah yang dijadikan bahan baku membuat embal lempeng yang ditaburi kacang oleh 39 ibu-ibu di desa Debut, dan dijual Rp. 5.000,-/pak. Kasbi merupakan komoditas utama yang ditanam pada awal musim hujan (Nopember), bersama jagung pada areal yang sama. Umur panen kasbi embal ini 11 bulan sehingga hanya sekali tanam dalam setahun. Kacang tanah merupakan pangan kedua setelah ubi kayu, digunakan sebagai bahan subtitusi dalam pembuatan embal (makan khas Maluku Tenggara).

Kacang tanah di tanam di lokasi terpisah (diluar ubi kayu dan jagung) dan ditanam dua kali dalam setahun, yaitu pada bulan Nopember/Desember dan Maret/April. Hasil panen kacang tanah selain dimanfaatkan untuk konsumsi sendiri juga dijual atau dijadikan produk olahan ’kacang botol’ (kacang tanah disangrai dan dikemas dalam botol). Harga kacang tanah Rp. 9.000,-/kg, kalau kacang botol  Rp.12.500/botol. Embal dan kacang botol dijual ke pasar Tual,  Pelabuhan Pelni, Bandara Langgur, Fak-Fak, Sorong dan Kaimana. Produk ini telah menjadi oleh-oleh khas kabupaten Maluku Tenggara. Total nilai ekonomi embal di kecamatan Kei Kecil mencapai Rp 241.200.000,-/tahun; sedangkan kacang botol mencapai Rp 164.000.000,-/tahun.

Pendekatan Partisipatif
Namun usaha tradisional embal dan kacang botol ini  tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari sisi penyediaan bahan baku. Produksi kasbi embal dan kacang tanah dari desa Debut dari tahun ke tahun menunjukan penurunan. Para pelaku usaha sering membeli bahan baku ini dari desa-desa tetangga, padahal ketersediaan sumberdaya lahan masih terbuka luas. Berangkat dari permasalahan inilah kami berusa melakukan program pemberdayaan masyarakat yang salah satu kegiatannya adalah optimalisasi lahan kering yang dilakukan secara partisipatif.

Paparan pelaksanaan kegiatan bersama Bupati Malra
Masyarakat desa Debut kami pandu untuk menentukan sendiri kegiatan yang akan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas usahanya. Berbagai masalah yang berhasil dirumuskan selanjutkan kami padupadankan dengan karakteristik wilayah dan ketersediaan teknologi spesifik yang mudah diadopsi. Selain itu kami diskusikan dengan instansi teknis terkait dan dipaparkan didepan pemangku kebijakan (Bupati) untuk mendapatkan dukungan.

Pembukaan lahan oleh petani sebelum kegiatan
Kami berusaha memodifikasi model usaha tani yang awalnya dilakukan sendiri-sendiri oleh petani secara terpisah-pisah; menjadi suatu kelompok usaha bersama dalam satu hamparan yang cukup luas. Petani yang pada awalnya membuka lahan semampunya dalam  bentuk petakan-petakan kecil dengan luas ± 3 are, yang batas petakan (batas kepemilikan) hanya dipisahkan dengan kayu atau bambu; diarahkan untuk berkelompok dalam satu hamparan lahan pertanian. Kebersamaan masyarakat yang didasari oleh kepentingan bersama membawa dampak yang luar biasa terhadap etos kerja dalam mengelola lahan kering ini.

Peninjauan lokasi kegiatan
Lahan kering yang tadinya tidak terurus itu saat ini telah menjadi lahan pertanian produktif yang menjanjikan. Tanaman tumbuh dan berproduksi dengan baik karena dibudidayakan sesuai dengan kaidah-kaidah bercocok tanam yang baik. Tanah dijaga kesuburannya dengan melakukan olah tanah minimal dan mendaur ulang sisa panen menjadi pupuk organik. Pola tanam campuran diatur sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kompetisi hara dan sinar matahari sehingga mampu berproduksi secara optimal. Saat itu kebutuhan bahan pangan di desa Debut dapat dipenuhi secara mandiri.

Areal lahan kering setelah kegiatan dilaksanakan
Ini adalah bukti, jika kita benar-benar memahami keinginan masyarakat dan bersama mereka melakukan perbaikan, serta didukung oleh pemerintah daerah maka proses pembangunan pertanian akan jelas terasa dampaknya. Segala Puji Bagi Alloh. Puji Tuhan.



Optimisme masyarakat desa Debut...................

Semoga diberkahi......
Nara Sumber : J.B. Alfons


Komentar

  1. Salam sejahtera, saya memiliki inovasi pola tanam yang dapat meningkatkan hasil panen dari 200% s/d 500%, jika anda berminat untuk bekerja-sama silahkan hubungi saya via email : henry27efan@gmail.com
    Terima kasih

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

SUKUN KOTA TERNATE : SUMBER PANGAN YANG BELUM TERGARAP

Sukun ( Artocarpus communis ) merupakan komoditas hortikultura yang sudah dikenal dan berkembang di Maluku Utara. Buah sukun cukup banyak mengandung karbohidrat, sehingga mempunyai potensi sebagai bahan pangan alternatif untuk pengganti beras (diversivikasi pangan) dalam mendukung ketahanan pangan dan bahan olahan lainnya. Pada umumnya, buah sukun di Maluku Utara banyak dimanfaatkan sebagai makanan ringan (camilan), dengan direbus, digoreng maupun dibuat keripik. Untuk diversifikasi makanan, buah sukun dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.  Hasil inventarisasi sukun di Maluku Utara terdapat : (1) Populasi tersebar di semua Kabupaten/Kota di Maluku Utara, yang spesifik terdapat di Maitara dan Kepulauan Sula. Di Maitara ada dua jenis sukun, yaitu sukun telur dan sukun batu (nama lokal); (2) Tinggi pohon berkisar 10-15 m, dengan lebar kanopi + 5 m dari cabang-cabang yang melebar ke samping; (3) Rata-rata umur sukun di Maluku Utara pada