Langsung ke konten utama

ANALISIS DAN SINTESIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU #2

Andriko Noto Susanto dan Sjahrul Bustaman

Permasalahan Pembangunan Pertanian di Maluku

      Beberapa masalah pembangunan pertanian dan karakteristik petani di Provinsi Maluku yang perlu mendapatkan perhatian penting dalam rangka pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut  :
  1. Banyak pulau-pulau kecil dan terpencil di Maluku yang memiliki aksesibilitas rendah dengan wilayah luarnya mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari secara minimal namun mandiri,
  2. Jumlah pulau kecil di Maluku jumlahnya sangat banyak dan sampai sekarang belum dilakukan identifikasi baik potensi lahannya maupun sosial ekonomi dan budayanya,
  3. Karakteristik petani pada pulau-pulau kecil tersebut dalam banyak hal berbeda dengan petani-petani di pulau besar, oleh karena itu diperlukan pendekatan yang berbeda dalam memberdayakannya, 
  4. Salah satu keuntungan memberdayakan petani pada pulau kecil di Provinsi Maluku adalah berhubungan dengan kelompok-kelompok sistim usahatani yang kecil sehingga memudahkan pengawasan arus informasi dan teknologi, 
  5. Diperlukan pilot project pemberdayaan pulau kecil di Maluku yang selanjutnya jika berhasil, hasilnya dapat didiseminasikan ke pulau-pulau kecil di sekitarnya secara berkelanjutan dengan biaya relatif murah, 
  6. Membangun sistem pertanian di Provinsi Maluku secara keseluruhan sangat ditentukan oleh pemberdayaan masyarakat pada pulau-pulau kecil yang tersebar di wilayah ini, 
  7. Kebanyakan petani tradisional di Provinsi Maluku masih memerlukan banyak penyuluhan dalam melakukan budidaya komoditas tertentu, 
  8. Skala usaha yang dilakukan kebanyakan petani khususnya pada budidaya tanaman pangan adalah sekala rumah tangga dan belum berorientasi bisnis, bahkan pada wilayah-wilayah terpencil masih menerapkan pola subsisten, 
  9. Adopsi teknologi di tingkat petani masih tergolong rendah disebabkan oleh kebijakan yang bersifat top-down bukan bottom-up, belum terciptanya iklim berusaha di kebanyakan wilayah di Provinsi Maluku, rendahnya daya serap pasar terhadap komoditas yang dihasilkan, dan rendahnya tingkat pendidikan pada kebanyakan keluarga tani,
  10. Kemampuan petani setempat dalam mengolah lahan, umumnya jauh tertinggal dibanding kemampuan nelayan setempat mengolah laut, mengukur luas kepemilikan lahan, produksi dan pendapatan petani selalu berbenturan pada belum jelasnya status kepemilikan lahan, cara bertani yang berpindah-pindah, pola pertanian campuran dan sistem pertanian subsisten. Lahan yang masih luas, dan jumlah petani yang sedikit memungkinkan petani untuk selalu memilih lahan-lahan subur, 
  11. Petani kurang tertarik untuk menggunakan sarana produksi pertanian karena kebanyakan petani berfikir itu hanya akan menambah biaya produksi, 
  12. Pada subsektor perkebunan, secara umum petani menanam kelapa, kakao dan pala dalam satu areal yang sama secara polikultur. Dampak positif dari sistem ini adalah dapat menekan kerugian akibat gagal panen salah satu komoditas, namun efek negatifnya adalah pertumbuhan tanaman kurang optimal karena pasokan unsur hara menjadi terbatas akibat terjadi kompetisi antara komoditas yang ditanam. Pada komoditas kakao hal ini meningkatkan resiko terkena penyakit busuk buah karena kelembaban yang tinggi, 
  13. Untuk mendukung suatu usaha pertanian disuatu wilayah berjalan dengan baik maka perlu dukungan sarana dan prasarana yang memadai, 
  14. Diperlukan koordinasi lintas sektoral untuk memberdayakan sarana dan prasarana yang sekarang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Maluku beserta UPT pusat yang sekarang berada di Maluku, 
  15. Sebelum terjadi “kerusuhan” sarana dan prasarana pendukung usaha pertanian di Maluku masih tergolong minimal terutama di wilayah-wilayah yang tidak memiliki kawasan transmigrasi, kondisi ini sekarang menjadi lebih memprihatinkan setelah terjadi ‘kerusuhan’, 
  16. Sarana dan prasarana pendukung usaha pertanian ini harus segera diadakan untuk wilayah yang belum memiliki dan direhabilitasi untuk kawasan yang sarana dan prasarananya rusak akibat kerusuhan, 
  17. Kebiasaan petani dalam mengusahakan lahan yang telah dilakukan selama ini perlu dimasukkan sebagai komponen teknologi yang selanjutnya dianalisis untuk dilakukan perbaikan teknologi yang spesifik lokasi, 
  18. Memasukkan program pemerintah dengan paket teknologi lengkap yang diadopsi dari wilayah luar Maluku ke petani tradisional di Maluku sering kali tidak efektif, karena bertentangan dengan kebiasaan petani setempat dan kurangnya pengetahuan petani.
      Dalam tulisan ini selanjutnya dijabarkan mengenai karakteristik sumberdaya lingkungan (sumberdaya iklim, sumberdaya tanah, analisis sumberdaya lahan sumberdaya manusia); sintesis kebijakan pembangunan pertanian (penentuan komoditas unggulan wilayah, sintesis kebijakan pewilayahan sistem usaha tani, strategi pengembangan jagung di maluku); Penutup.

Catatan :
Makalah ini disampaikan Pada Acara: Sinkronisasi Program dan Kegiatan Pembangunan Pertanian Tahun 2005 antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Maluku, Pada Hari Rabu, 15 Juni 2005 di Hotel Wijaya II – Ambon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

SUKUN KOTA TERNATE : SUMBER PANGAN YANG BELUM TERGARAP

Sukun ( Artocarpus communis ) merupakan komoditas hortikultura yang sudah dikenal dan berkembang di Maluku Utara. Buah sukun cukup banyak mengandung karbohidrat, sehingga mempunyai potensi sebagai bahan pangan alternatif untuk pengganti beras (diversivikasi pangan) dalam mendukung ketahanan pangan dan bahan olahan lainnya. Pada umumnya, buah sukun di Maluku Utara banyak dimanfaatkan sebagai makanan ringan (camilan), dengan direbus, digoreng maupun dibuat keripik. Untuk diversifikasi makanan, buah sukun dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.  Hasil inventarisasi sukun di Maluku Utara terdapat : (1) Populasi tersebar di semua Kabupaten/Kota di Maluku Utara, yang spesifik terdapat di Maitara dan Kepulauan Sula. Di Maitara ada dua jenis sukun, yaitu sukun telur dan sukun batu (nama lokal); (2) Tinggi pohon berkisar 10-15 m, dengan lebar kanopi + 5 m dari cabang-cabang yang melebar ke samping; (3) Rata-rata umur sukun di Maluku Utara pada