Andriko Noto Susanto
Jogjakarta, 16 Juli 2011
Pulau Kisar terletak di wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) dapat ditandai pada posisi geografis 8°3'29.24"S - 127°10'33.56"E. Pulau ini masuk kecamatan PP. Terselatan dengan ibukota Wonreli, merupakan wilayah paling aktif di kabupaten ini. Dari kota inilah saat ini pemerintahan kabupaten dikendalikan. Ukuran pulau ini sangat kecil, jarak Utara – Selatan hanya 10,4 km; jarak terjauh dari Timur – Barat adalah 10,22 km; luas 8.500 ha dan keliling pulau sekitar 37 km. Hanya perlu sekitar 40 menit untuk mengelilinginya dengan speedboat jika kecepatanya 60 km/jam. Namun pulau ini dihuni oleh sekitar 18.425 penduduk yang terbagi dalam 12 desa/kelurahan dan termasuk paling padat di MBD.
Pulau ini merupakan daerah angkatan coral reef (batu kapur koral) pada kala polistocean dengan umur sekitar 1 juta tahun. Keunikan dari pulau ini adalah bentuknya seperti ‘mangkok’ bagian tengah merupakan hamparan tanah relatif subur (4.000 ha) dikelilingi oleh teras karang berbatu (4.500 ha) yang berfungsi sebagai ‘benteng’. Kesuburan tanah ‘terjaga’ dan ‘terselamatkan’ karena erosi tanah dapat dikendalikan oleh bentukan alam, dan terseleksi hanya melalui sekitar 15 titik alur alami yang bermuara ke laut. Selain itu curah hujan yang hanya 1.102 mm yang berlangsung hanya sekitar 5 bulan selain menjadi faktor pembatas pertumbuhan juga merupakan pengendali erosi yang efektif. Benteng karang ini juga berfungsi menyelamatkan tanaman dari efek plasmolisis uap air laut.
Semua wilayah datar dibagian tengah pulau saat ini telah menjadi areal pertanian yang sangat produktif. Pulau Kisar adalah penghasil jagung paling besar, dan padi ladang tebesar kedua setelah Wetar di MBD. Dari kedua komoditas inilah masyarakat asli hidup dan bergaul dengan alam secara ramah dan santun selama ratusan tahun. Pertanian organik diterapkan secara turun temurun.
Petani-petani di Pulau Kisar menerapkan sistem usaha tani yang masih sederhana. Persiapan lahan dilaksanakan pada awal musim hujan (Nopember–Desember), yaitu dengan membenamkan gulma ke dalam tanah (prinsip pertanian organik sederhana). Selain dibenamkan sisa-sisa serasah dikumpulkan di petak-petak pertanaman kemudian dibakar menjelang penanaman. Setelah 2-3 hari dilakukan penanaman dengan cangkul sebagai alat membuat lubang tanam.
Jagung ditanam pada jarak 75 x 40 cm, satu lubang ditanami empat benih jagung dan dua benih kacang merah atau kacang hijau. Dari empat jagung yang tumbuh, dua diantarannya akan dipanen muda (70 hst) untuk keperluan konsumsi dalam bentuk jagung rebus, bubur jagung yang dicampur dengan kacang merah dan labu. Sedangkan dua sisanya dibiarkan sampai tua (100 hst), kemudian dipanen dan dipipil untuk disimpan di dalam drum atau ‘bising’ yang terbuat dari daun Koli (sejenis Lontar). Jagung kering tersebut digiling dan dijadikan nasi jagung (campuran jagung dengan beras) dan untuk makanan ringan (campuran jagung dengan kacang tanah disangrai dengan pasir). Petani tidak pernah melakukan pemupukan dan pengendalian OPT, namun petani melakukan pemangkasan bunga jantan untuk makanan ternak yang sekaligus tanpa sengaja melakukan pengendalian hama secara hayati. Pemangkasan bunga jantan ini dapat menekan daya tarik hama kumbang penggerek batang dan tongkol jagung.
Namun akhir-akhir ini tekanan lahan telah melampaui kemampuannya yang dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap eksistensi pulau ini. Tekanan pembangunan infrastruktur setelah pembentukan kabupaten BMD telah mengeser peran fungsi lahan pertanian dan berpotensi meningkatkan laju erosi karena berkurangnya daerah resapan air. Jumlah penduduk yang semakin besar juga telah berdampak pada lebih intensifnya pemanfaatan lahan sehingga tidak ada lagi areal konservasi. Pulau ini sangat unik dan cocok dijadikan model pemberdayaan masyarakat pulau-pulau kecil dengan menerapkan sistem pertanian organik yang berimbang. Hal-hal yang harus diperhatikan dari pulau kecil ini adalah :
- Rentan terhadap pemanasan global yang mengakibatkan naiknya permukaan air laut, sehingga luas daratannya semakin berkurang,
- Sumberdaya alamnya terbatas dan berpotensi untuk dilakukan eksploitasi berlebihan. Dalam batasan tertentu karena keunikannya ‘tanah’ di Pulau Kisar dapat dimasukkan sebagai sumberdaya alam yang harus dilindungi kesuburannya
- Peka terhadap erosi dan bencana alam seperti gunung berapi, gempa bumi dan tsunami,
- Terbuka untuk sistem ekonomi skala kecil, namun sangat peka terhadap kejutan pasar dari luar dalam skala yang lebih besar.
Diperlukan desain wilayah secara teliti untuk memberdayakan Pulau Kisar. Areal karang berbatu dengan luas 4.500 ha dapat dimanfaatkan sebagai pusat pembangunan infrastruktur tanpa mengganggu daerah subur di bagian tengah pulau. Alur-alur alami maupun aliran sungai ditata untuk dihijaukan sebagai daerah konservasi. Dan pantai pasir putih yang indah diberdayakan sebagai kawasan wisata. Teknologi desalinasi air laut dapat diterapkan dengan memanfaatkan energi panas matahari dan angin pada daerah karang ‘benteng’ pulau. Areal pertanian dilindungi beserta petaninya dan diberi akses yang memadai untuk menjaga eksistensi pertanian organik pulau Kecil.
Citra Satelit by Google Earth. Foto-foto by Alex J. Rieuwpassa
pak, saya menyukai tulisan bapak...Kisar adalah tanah kelahiran leluhur dari ibu saya...boleh tanya dimana data2 valid tentang pulau ini bisa di dapatkan?mis; data curah hujan...karena saya sedang menulis tesis tentang air di pulau ini dan sedang kesulitan mendapatkan data2nya...terimakasih....hormat saya, Hana
BalasHapusTerimakasih Ibu, Silahkan saja data-data apa yang dibutuhkan, jika ada disaya nanti diemail. Salam Kenal. Tk
Hapusterimakasih atas perhatian Bapak...
BalasHapusdari semua tulisan yang mampu saya telusuri lewat internet,hanya tulisan-tulisan Pak ANdriko yang cukup lengkap tentang karakteristik Pulau Kisar...saya sendiri baru 1 kali ke Pulau Kisar di awal 2012 ini...dan tidak berhasil mendapatkan data (utamanya peta) yang dapat mendukung penelitian saya untuk tesis Sistem Penyediaan Air Minum di Pulau Kisar, bahkan untuk penelitian awal pun tidak ada peta desa, administratif atau sebaran penduduk yang tersedia...jika Bapak berkenan, dapatkah menghubungi saya di hannasinggih@gmail.com sekiranya ada informasi tentang peta atau apapun yang menurut Bapak Andriko dapat mendukung penelitian saya?terimakasih atas perhatiannya
Hormat saya,
Hanna Singgih
pak, mau tanya, apakah bapak memiliki data peta kontur dan administratif pulau kisar?terimakasih atas perhatiannya..
BalasHapushormat saya,
Hanna
terima kasih Pak atas artikelnya,,, sangat menarik.
BalasHapusTerimakasih Mey... Salam Kenal dan Selamat Berkarya...
BalasHapusTidak banyak artikel tentang pulau Kisar yang membahas tentang kehidupan sehari hari seperti bercocok tanam.
BalasHapusPulau Kisar masuk dalam daftar pulau pulau terluar yang ingin saya kunjungi.
Apakah di pulau Kisar masih ada bangunan tradisional seperti rumah adat yang tersisa dan masih digunakan sehari hari atau atau objek yang memiliki nilai kebudayaan seperti yang ada di Tanimbar dengan kapal batu nya ?
Terima kasih atas artikel anda.
Salam dari Vienna, Austria
Subagio Rasidi Kusrini (etoy)
www.kusrini.net
Banyak sekali obyek budaya di Kisar yang barang kali tidak menarik bagi yang tidak mengetahui. Jika Bapak kesana saya yakin banyak hal yang dapat digali selain kulturnya yang sangat eksotik. Keramahan masyarakat, local wisdom, indigenous knowledge dan beberapa peninggalan sejarah merupakan hal yang menarik untuk dipelajari. Selain itu pulau-pulau terluar disekitarnya seperti ROmang, Leti, Moa dan Lakor juga memiliki beragam keunikan yang boleh jadi memiliki ekonomi tinggi tinggi seperti pala lokal romang, madu romang, kerbau Moa, dll. Silahkan dikunjungi dan diberitakan ke khalayak hasilnya. Terimakasih atas perhatiannya.
BalasHapusinfo terkini penerbangan Trigana Air Service segera akan beroperasi ke pulau kisar dengan rute Ambon-Kisar-Ambon, 3 kali seminggu diperkirakan mulai beroperasi sekitar akhir Desember 2014 atau awal Januari 2015,
BalasHapusPak, mohon ijin menggunakan artikel Bapak untuk bahan referensi dalam melengkapi data-data yang saya kumpulkan terkait kondisi alam dan sumber daya air di Pulau Kisar, terima kasih
BalasHapusTerima kasih banyak, tak henti2nya sy mengucapkan terima kasih kepada Bapak, karena Bapak telah menulis tentang kehidupan yg ada di daerah Pulau kisar, dengan Nama aslinya adalah Noho Yotowawa Rai Daisuli yang sebagai mana pulau ini merupakan pijakan para leluhur saya dan saya sendiri lahir dan besar di pulau kisar yg merupakan pulau batu karang yg terbentang mengililingi pulau kisar, yang sangat mebarik bagi saya adalah bahwa Bapak bisa mempelajari tentang kehidupan masyarakat pulau kisar yg mana selama ini pulau ini terisolir dari pantauan pemerintah. Dengan adanya artikel yang bapak tulis ini akan memberikan perhatian secara aktif terhadap pulau kisar serta tatanan adad dan budaya di pulau ini sehingga menjadi ketertarikan bagi para pembaca yg ingin mengenal pulau kisar lebih dalam lg... Masih banyak historis yg blm terungkap tentang pulau kisar namun harapan saya semoga kedepan akan di gali lebih dalam lg. ...terima kasih atas apa yang telah bapak sampaikan... Dalam bahasa kisar adalah terimkasi namori...
BalasHapusTempat yang sangat eksotik, jaga dan lestarikan. Kisar adalah model yang sudah jadi. Semakin digali semakin berisi...
HapusMas Notosusanto !
BalasHapusSaya mengucapkan terima kasih atas publikasi lugas tentang daerah-asal saya, Pulau Kisar, dari hasil penelitian anda.
Pada tahun 1971 saat itu masih masih di bangku SMP kelas 1 saya sempat ikut mengantar seorang Peneliti (kayaqnya dari ITB Bandung) meneliti bebatuan/karang di atas Leke-Daholo Wonreli. Tahun 1972 ada seseorang Peneliti lain (konon asal Swiss) tiba dan meneliti area perairan-pantai, namun mengalami kecelakaan saat berenang di Pantai Nama, malah mayatnya tidak diketemukan sampai sekarang.
Tentang kesuburan tanahnya, tahun 2007 saya sempat ketemu salah seorang saudara kami yang saat itu sedang menyelesaikan program S3 di IPB Bogor. Dia adalah DR Ir Agoes Jacob MSi yang sekarang mengajar pada program Pasca Sarjana Unpatti. Dalam bincang2 kami malam itu, sempat masuk pada sistem pertanian di sana, saya lantas ingat, pada masa sekolah bahkan sejak masih SD akhir 1960-an bila musim kemarau tiap hari bersama almarhum ayah kami menyapu dan mengumpul dedaunan pohon yang jatuh baru kemudian diangkut dan ditebarkan di dalam kebun (ladang). Saat sampai pada pengalaman menarik ini, sambil tersenyum DR Agoes menceriterakan pengalamannya di Kampus (IPB). Katanya, pernah ada perdebatan soal kesuburan tanah terkait dengan perladangan berpindah2 di beberapa daerah yang konon merupakan salah satu penyebab banjir dibanding sistem perladangan (kebun2) di Pulau Kisar yang malah sudah ratusan tahun sejak leluhur tak pernah berpindah2 (karena memang tak bisa pindah ke mana2 lagi). Dia berargumentasi dengan mengusung fakta tentang bagaimana "orang Kisar" mengelola tanah kebunnya yang justru sudah diolah sejak zaman leluhur tanpa pernah berpindah2 tetapi hasil produksinya konstan tak pernah berkurang walau pun entah sudah sampai pada generasi anak-cucu yang ke berapa.
BalasHapusKata DR Agoes : "bagaimana mungkin saya harus diajarin lagi Bung, padahal pekerjaan itu sudah kita tekuni sejak kecil". Yaitu, tetap berkebun pada lahan atau ladang yang sudah diolah sejak leluhur pada ratusan tahun yang lalu tanpa berpindah2, tetapi produktivitasnya tidak berkurang kecuali apabila curah hujannya rendah.
Nah, Mas Notosusanto, dari mana saya bersama ayah mengumpul daun-daun pepohonan itu ? Mulai pepohonan di dekat sebuah pohon Kenari-Besar di Kompleks Pohon2 Sagu tak jauh dari Sumur-Kembar di bawah Leke-Daholo (pusat Negeri Wonreli) menyusur jalan-raya arah ke Pantai Nama kadangkala sampai sisa kurang dari 300m jaraknya dari tepian pantai. Dedaunannya apa saja, daun kelapa, sukun, mangga/pauh, kenari, macam2. Tetapi memang, selama itu pula, asalkan curah hujan normal, dapat dipastikan produktivitasnya tetap bertahan, tak pernah berkurang.
BalasHapusSampai akhir 1970an, bahkan ketika saya datang jelang akhir tahun 1982 Gereja Tua di bawah Rumah-Raja (Wonreli) masih kelihatan utuh dari sisa kebakaran zaman orangtua2 dahulu sebelum dipindahkan ke Kota Wonreli sekarang. Begitu juga benteng2 peninggalan Hindia Belanda yang terletak di Kota-Lama dan di Pantai Nama.
SEKILAS TENTANG PULAU KISAR DULU.
BalasHapusSampai paruh pertama dekade 1980-an, di Pulau Kisar terdapat 2 (dua) pelabuhan yang berfungsi mengikuti perubahan musim menurut arah-angin (timur-barat) dan dua-duanya tanpa dermaga, yaitu : Pelabuhan Pantai Nama dan Pelabuhan Pantai Jawalan. Pada musim timur yang biasanya berlangsung antara pertengahan bulan Maret s/d akhir bulan Oktober, kapal dan perahu harus berlabuh di pelabuhan Pantai Nama, sebaliknya pada musim barat antara awal bulan November sampai paruh pertama bulan Maret harus berlabuh di pelabuhan pantai Jawalan. Karena dua-duanya tidak ada dermaga, maka semua kapal dan perahu harus berlabuh (membuang sauh) apalagi bila ingin menginap semalam atau beberapa hari. Hanya kapal-kapal perintis yang melayari trayek rutin dari Kota Ambon sampai gugusan Kepulauan yang sekarang menjadi MBD (Kisar Wetar, Romang, Damer, Leti, Moa, Lakor, Luang, Sermatang dan Wetang atau Babar) tidak ada yang membuang sauh (berlabuh) melainkan hanya bermanover sambil menyesuaikan diri dengan kondisi laut. Para penumpang dan barang diangkut ke Kapal dengan menggunakan Perahu-Semang (Bero), dan baru pada paruh kedua dekade 1970-an atau jelasnya pada masa kepemimpinan Camat John. J. Kameubun, BA bermula dengan sebuah angkutan bermesin (Johnson) milik Pemerintah Kecamatan atau Kantor Camat.
Nah. Mengandalkan ke-2 pelabuhan mengikuti keadaan musim, padahal rumah-rumah penduduk pada umumnya jauh dari pesisir pantai, berbeda dibandingkan pulau-pulau lain di kawasan itu mulai Wetar sampai Babar. Dari pusat Kota Wonreli ke pelabuhan Pantai Nama kurang lebih 2 KM sedangkan ke pelabuhan Pantai Jawalan kurang lebih 8 KM. Tetapi setiap tibanya kapal (terutama kapal-kapal perintis dari Kota Ambon) orang selalu berbondong-bondong datang ke pelabuhan entah di Pantai Nama atau pun Pantai Jawalan. Angkotan mobil (truck) juga baru saja masuk jelang akhir paruh kedua dekade 1970an, sedangkan sebelum itu orang ramai-ramai berjalan kaki tidak soal berapa berat beban bawaannya kecuali bagi mereka yang memiliki sepeda atau kuda.