Langsung ke konten utama

Cetak Lahan Kering #2

CETAK LAHAN KERING, 

PILIHAN BIJAK MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN DI MALUKU (2)


Dr. Andriko Noto Susanto, SP., MP

Harian Pagi Suara Maluku, 24 Oktober 2012

 


      Lombart (2000) menyatakan bahwa dalam kurun tidak lama lagi masyarakat Jawa akan mengalami krisis ekologi lahan kering disebabkan di wilayah hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) telah mengalami penurunan kapasitas hidrologi dan konservasi lingkungan ekologis. Jika lahan sawah di Pulau Jawa secara tidak terkendali telah beralihfungsi ke non sawah, kemudian lahan keringnya mengalami krisis ekologi, maka kemana lagi sumber pangan masa depan kita akan bergantung. Kawasan Indonesia Timur, termasuk Maluku berpotensi besar dapat menjadi pemain utama dalam menyediakan bahan pangan Indonesia. Maluku akan ekspor pangan, jadi saatnya kita berbenah. Pertama, sudah saatnya pemerintah daerah memikirkan untuk membangun lahan kering sekuat, sebaik, secermat dan seakurat pembangunan lahan sawah. Kedua, sudah saatnya kita mencurahkan segala daya dan upaya untuk memberdayakan lahan kering agar stigma lahan kering yang marjinal, kurang subur, dan kurang produktif menjadi lahan kering yang memiliki potensi sebesar (bahkan lebih besar) dari lahan sawah, dalam mendukung upaya pencapaian pangan yang berdaulat. Berapa sebenarnya kebutuhan lahan kering kita, jika hanya untuk memproduksi kecukupan bahan pangan ?

Menghitung kebutuhan luas lahan kering

      Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghitung berapa luas lahan kering yang harus dicetak di Provinsi Maluku untuk menjamin kedaulatan pangan masa depan. Mencetak lahan kering tidak harus melakukan pembukaan lahan baru, namun dapat dilakukan dengan menata ulang lahan kering yang sudah ada menjadi lahan kering standar lengkap dengan sarana dan prasarana pendukung seperti  halnya lahan sawah. Wilayah dengan agroekologi kering seperti Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat dan Maluku Barat Daya diprioritaskan untuk dilakukan pencetakan karena berhubungan dengan sumber pangan pokok mereka yang tidak dominan beras.
      Standar Pola Pangan Harapan (PPH) dari Departemen Pertanian Tahun 2001 dapat dijadikan acuan dalam menyusun neraca bahan pangan di Maluku. Prioritas utama dalam mewujudkan kedaulatan pangan adalah terpenuhinya pasokan pangan penghasil karbohidrat, yaitu padi, jagung, ubikayu, ubijalar dan umbi-umbian lainnya; karena menempati proporsi 56% dari keseluruhan jumlah pangan yang dibutuhkan. Hasil perhitungan berdasarkan data BPS ketiga kabupaten tersebut Tahun 2010 menunjukkan bahwa masih menunjukkan defisit kalori bahan pangan. Kekurangan kalori berarti jumlah bahan pangan yang dihasilkan pada wilayah tersebut belum mencukupi untuk kebutuhan sendiri. Kabupaten MTB membutuhkan lebih banyak tambahan kalori untuk mencukupi kebutuhan pangan dibandingkan kabupaten Malra dan MBD. Jumlah kalori yang dibutuhkan setara dengan 10.228 ton beras pada Tahun 2010 dan jumlah selanjutnya ditentukan oleh laju pertumbuhan penduduknya.
      Berdasarkan analisis kebutuhan kalori ideal berdasarkan PPH dapat diketahui bahwa Maluku Tenggara membutuhkan kalori paling besar dibanding MTB dan MBD, yaitu 52.960.324.000 kkal/tahun. Jumlah kalori sebanyak itu harus dipenuhi dari padi gogo sebesar 11.471.038.204 kkal, jagung sebesar 12.770.278.319 kkal, ubikayu sebesar 26.700.782.376 kkal, ubijalar sebesar 1.143.765.782 dan umbi-umbian lain sebanyak 1.610.526.318 kkal.  Jika nilai kalori per satuan berat bahan pangan yang dapat dikonsumsi diketahui, maka dapat dihitung satuan berat dari masing-masing bahan pangan yang dibutuhkan. Kinerja usahatani pada masing-masing komoditas dan asumsi produktivitas jika diintroduksikan teknologi baru dapat dijadikan dasar menilai optimisme perencanaan pencetakan lahan kering.

Luas cetak lahan kering di Maluku

      Luas lahan kering yang harus dicetak untuk mencukupi kebutuhan pangan sangat tergantung kepada target produksi pangan berdasarkan produktivitasnya. Semakin tinggi produktivitas tanaman, maka semakin sempit luas lahan kering yang harus dicetak pada target produksi yang sama. Prediksi peningkatan produktivitas yang direncanakan secara rasional dapat digunakan sebagai skenario peningkatan produksi melalui kegiatan intensifikasi. Luas panen yang lebih rendah dibanding luas areal (luas baku lahan) menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan belum optimal, sedangkan luas panen tahunan yang lebih besar dari luas areal menunjukkan IP telah mampu dilakukan lebih dari satu kali dalam setahun.
      Dari hasil perhitungan dapat diketahui bahwa jika pemberdayaan petani dalam berusaha tani tanaman pangan dianggap tidak berubah. Kabupaten Malra Tahun 2010 kemarin membutuhkan total luas lahan (IP 100) sebesar 5.330 ha, yang terbagi menjadi 1.924 ha  untuk padi gogo, jagung 999 ha, ubikayu 1.636 ha, ubi jalar 274 ha dan umbi-umbian lain seluas 497 ha. Artinya masih terjadi kekurangan lahan baku seluas 3.176 ha karena eksistingnya baru 2.154 ha. Kabupaten MTB pada tahun yang sama membutuhkan total luas areal lahan kering 13.612 ha untuk usahatani padi gogo  4.208  ha, jagung 3.460 ha, ubikayu 1.442 ha, ubi jalar 1.333 ha dan umbi-umbian lain seluas 3.169 ha. Artinya masih kurang 9.848 ha karena eksistingya hanya 3.764 ha.  Sedangkan kabupaten MBD membutuhkan total luas areal sebanyak 8.453 ha untuk padi gogo  447 ha, jagung 7.002 ha, ubikayu 319 ha, ubi jalar 361 ha dan umbi-umbian lain seluas 324 ha. Artinya luas tersebut telah mencukupi karena eksistingnya 12.740 ha, sehingga target pembangunan pemerintah daerah dapat ditingkatkan dari mencukupi kebutuhan pangan lokal menjadi peningkatan agribisnis pangan yang berdaya saing. 
      Peningkatan produktivitas lahan dan tanaman merupakan kegiatan yang harus didorong sebagai bagian dari usaha pemberdayaan masyarakat melalui program  intensifikasi. Jika target produktivitas dapat ditingkatkan secara rasional maka luas lahan yang harus ditambahkan (dicetak) menjadi lebih kecil. Usaha ini harus dipertimbangkan dalam rangka efisiensi penggunaan dana. Skenario-skenario lain masih sangat terbuka dengan memasukkan asumsi-asumsi lain sepanjang berangkat dari pemikiran yang realisitis dan obyektif, misalnya dengan peningkatan luas panen melalui peningkatan IP, penerapan mix-croping dan mekanisasi untuk meningkatkan kemampuan petani mengolah lahan.     

Dukungan ketersediaan sumberdaya lahan

      Pemetaan Pewilayahan Komoditas Pertanian yang dilakukan BPTP Maluku menunjukkan bahwa potensi lahan untuk tanaman pangan lahan kering masih terbuka luas di Malra, MTB dan MBD. Kabupaten Malra memiliki potensi lahan kering yang terbatas, namun jika skala peta tersedia lebih detail, maka masih banyak spot-spot lahan kering yang dapat diusahakan sebagai perluasan areal lahan kering. Total luas lahan kering di Kabupaten Maluku Tenggara 4.301,48 ha; Maluku Tenggara Barat adalah 154.483,78 ha, dan Maluku Barat  Daya seluas 29.793,55 ha. Artinya untuk memenuhi target pencetakan lahan kering yang totalnya hanya 13.024 ha tersebut masih lebih dari cukup ditinjau dari ketersediaan lahan dan masih tergolong sangat kecil jika ditinjau dari segi keberpihakan pemerintah daerah kepada petani tradisional Maluku. Harapan ini tentu tidak berlebihan jika dibandingkan dengan upaya Pemerintah Provinsi Maluku yang akan mencetak sawah seluas 31.402 ha sampai tahun 2014 untuk mendukung program surplus 10 juta ton beras Nasional. Semoga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

SUKUN KOTA TERNATE : SUMBER PANGAN YANG BELUM TERGARAP

Sukun ( Artocarpus communis ) merupakan komoditas hortikultura yang sudah dikenal dan berkembang di Maluku Utara. Buah sukun cukup banyak mengandung karbohidrat, sehingga mempunyai potensi sebagai bahan pangan alternatif untuk pengganti beras (diversivikasi pangan) dalam mendukung ketahanan pangan dan bahan olahan lainnya. Pada umumnya, buah sukun di Maluku Utara banyak dimanfaatkan sebagai makanan ringan (camilan), dengan direbus, digoreng maupun dibuat keripik. Untuk diversifikasi makanan, buah sukun dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.  Hasil inventarisasi sukun di Maluku Utara terdapat : (1) Populasi tersebar di semua Kabupaten/Kota di Maluku Utara, yang spesifik terdapat di Maitara dan Kepulauan Sula. Di Maitara ada dua jenis sukun, yaitu sukun telur dan sukun batu (nama lokal); (2) Tinggi pohon berkisar 10-15 m, dengan lebar kanopi + 5 m dari cabang-cabang yang melebar ke samping; (3) Rata-rata umur sukun di Maluku Utara pada