Langsung ke konten utama

Cetak Lahan Kering Maluku #1

CETAK LAHAN KERING,  

PILIHAN BIJAK MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN DI MALUKU (1)


Dr. Andriko Noto Susanto, SP., MP

Harian Pagi Suara Maluku, 22 Oktober 2012


Bung Karno sekitar 60 tahun yang lalu tepatnya pada Tanggal 27 April 1952 telah mencanangkan visi kedaulatan politik untuk membangun pertanian. Visi kedaulatan yang disampaikan oleh Bapak Pendiri Bangsa saat itu adalah bahwa pengembangan lahan kering merupakan ‘way out’ dari ancaman ‘kematian’ bangsa Indonesia. Ketersediaan lahan kering lebih luas dibandingkan dengan lahan sawah, namun perhatian terhadap lahan kering masih terlalu kecil. Stigma ilmiah bahwa lahan kering itu marjinal, kurang subur, memiliki banyak faktor pembatas pertumbuhan, potensi produktivitas rendah dan kurang menarik untuk dikembangkan, secara tidak langsung justru menjauhkan keberpihakan kebijakan pembangunan pertanian untuk menyentuh aeral ini karena dipandang tidak efisien. Ilmuwan kita telah ‘menjual’ lahan kering dengan cara yang salah selama ini, sehingga sampai saat ini energi yang dikeluarkan pemerintah untuk memberdayakannya masih jauh dari harapan. Bahkan jika kriteria FAO tentang definisi lahan kering dipakai, maka sebagian besar wilayah Indonesia dengan curah hujan diatas 750 mm/tahun (lahan kering iklim basah) tidak termasuk dalam klasifikasi lahan kering karena memiliki interval curah  hujan yang panjang dan masa pertanaman lebih dari 179 hari. Jadi sudah saatnya Provinsi Maluku mulai ‘Sekarang’ membagi energinya secara proporsional untuk memberdayakan lahan kering secara cerdas selain tetap ‘mengawasi’ keberlanjutan usahatani lahan sawah untuk kedaulatan pangan ke depan.


Kedaulatan Pangan dan Lahan Kering

Kedaulatan pangan telah menjadi pilihan strategis eksistensi suatu bangsa dimasa depan karena banyak sekali indikator alam (iklim dan tanah), lingkungan dan aktivitas manusia yang mengarah pada ramalan bahwa akan terjadi bencana kelaparan besar dimasa yang akan datang. Bangsa yang mampu bertahan adalah bangsa yang mampu merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan kedaulatan pangan secara tepat, dan seharusnya saat ini telah berjalan. Apa yang dapat kita lakukan tanpa pangan ???
Konsep ketahanan pangan dari FAO (1996) yang mengartikannya sebagai akses setiap individu memperoleh pangan setiap saat untuk hidup sehat, atau UU RI No.7/1996 tentang pangan harus terus didorong menuju ‘kemandirian pangan’ (tidak tergantung pasokan dari luar dan optimalisasi sumberdaya lokal)  dan ‘kedaulatan pangan’ (hak suatu negara beserta rakyatnya untuk melindungi dan menentukan sendiri kebijakan pangannya). Tanpa perlindungan yang memadai  terhadap tata ruang, tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil maka sektor pertanian tanaman pangan selalu ‘dikalahkan’ oleh sektor lain karena alasan jangka pendek yang kadang memang kurang kompetitif.
      Tidak dapat dipungkiri memang bahwa saat ini beras merupakan bahan pangan pokok yang memiliki sumbangan paling besar terhadap konsumsi kalori (55%),  dan 90 persen produksi beras nasional dihasilkan dari usahatani padi sawah. Namun jangan lupa bahwa biaya yang dikeluarkan untuk optimalisasi lahan sawah begitu besar dan tidak sebanding dengan biaya pemberdayaan lahan kering. Jadi wajar jika lahan kering tetap menjadi marjinal. Kondisi demikian menyebabkan wilayah-wilayah Indonesia yang secara agroekologi tidak dominan lahan sawahnya dan secara sosial budaya tidak ‘biasa’ menanam padi sawah karena bahan makanan pokoknya bukan beras seperti Provinsi Maluku, kurang mendapatkan porsi pembangunan yang memadai dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Jadi ada benarnya kritikan Ken Ash Direktur OECD yang mengatakan kebijakan pangan Indonesia salah, terutama seharusnya Indonesia melakukan diversifikasi padi sawah dengan komoditas lain yang bersifat spesifik dan bernilai ekonomi tinggi sehingga memiliki daya saing.
      Usaha mencetak lahan kering di Provinsi Maluku sebagai bagian penting penguatan sistem kedaulatan pangan sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Pembangunan sentra produksi pangan di Maluku yang dirintis melalui program transmigrasi dengan basis usahatani padi sawah telah berhasil dengan baik. Empat daerah transmigrasi, yaitu Kabupaten Buru (Waeapo), Seram Bagian Barat (Kairatu), Maluku Tengah (Wahai) dan Seram Bagian Timur (Bula) saat ini telah berubah menjadi kawasan yang relatif lebih maju dibanding kawasan pertanian lainnya. Hal ini disebabkan oleh perencanaan akurat yang meliputi pencetakan sawah, sertifikasi tanah, jaminan keamanan untuk dapat melakukan usahatani dengan baik, sarana irigasi, penyediaan sarana produksi pertanian, infrastruktur pendukung pertanian dan program pemberdayaan lintas sektoral yang terkontrol dengan baik. 
     Perencanaan yang akurat dalam menciptakan sentra produksi pangan padi sawah melalui program transmigrasi tersebut, seharusnya diadopsi sebagai pendekatan dalam memberdayakan petani lahan kering di Maluku. Dengan perencanaan dan dukungan sumberdaya dan sumberdana yang sebanding dengan  pencetakan sawah, diharapkan pemberdayaan petani lahan kering di Maluku juga dapat sukses seperti halnya pertanian lahan sawah. Program ini sudah seharusnya dilakukan sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah Daerah kepada petani lokal dan bentuk dukungan nyata terhadap program kedaulatan pangan.
      Perencanaan pencetakan lahan kering untuk mewujudkan kedaulatan pangan ini diawali dengan empat syarat mendasar, yaitu: (1) Analisis data untuk menghitung kebutuhan bahan pangan, (2) Analisis data untuk mengukur ketersediaan bahan pangan, (3) Analisis data untuk menentukan neraca bahan pangan, dan (4) Analisis potensi lahan, SDM dan infrastruktur untuk pengembangan pangan lokal.

Strategi pencetakan lahan kering


      Strategi pencetakan lahan kering di Provinsi Maluku didasarkan pada beberapa pertimbangan bahwa (1) Usahatani lahan kering merupakan usahatani spesifik masyarakat Maluku, karena didukung oleh kelayakan secara biofisik, sosial budaya dan ekonomi; (2). Masyarakat kepulauan Maluku telah memiliki indigenous knowledge dan local wisdom dalam mengelola lahan kering untuk menyediakan bahan pangan secara mandiri; (3). Usahatani pada lahan kering saat ini masih dikelola secara sederhana (seadanya, semampunya, berpindah-pindah
 dan sangat tergantung iklim sehingga hasilnya sekedarnya); (4) Komitmen Pemerintah daerah dalam memberdayakan lahan kering belum optimal, terbukti dari lemahnya perencanaan dan implementasi pengelolaan lahan kering di Maluku; (5). Usaha pencetakan lahan kering perlu dilakukan secara bertahap, dengan perencanaan matang dengan meniru perencanaan cetak sawah. Diperlukan perhitungan input, output secara teliti (jangka pendek, menengah, dan panjang) dan ini merupakan bentuk keberpihakan Pemerintah terhadap petani tradisional di Maluku.
      Beberapa tahapan penting yang perlu dilakukan untuk pencetakan lahan kering di Maluku adalah (1) Identifikasi potensi lahan kering di setiap wilayah kabupaten di Provinsi Maluku, (2) Identifikasi sumber air irigasi (potensi dan model optimalisasinya), (3) Identifikasi kesesuaian lahan dan iklim, (4) Sertifikasi lahan/tanah (bukti sah kepemilikan lahan, (5) Identifikasi petani penggarap, (6) Buat Survei Investigasi dan Design (SID) untuk lahan kering, (7) Pembuatan bangunan sarana irigasi alternatif, (8) Pencetakan lahan kering lengkap dengan pematang, jalan usahatani dan saluran irigasi alternaltif, (9) Pemberdayaan masyarakat dengan program-program ketahanan pangan, agroforestry, dan  tumpang sari.
      Beberapa bagian penting yang harus dilakukan agar usahatani lahan kering mampu bersaing dengan lahan sawah adalah (1) menyelesaikan masalah air dengan membangun sarana irigasi alternatif (embung, pompa, bendung mikro dengan saluran primer/sekunder/tersier berfungsi), (2) menjamin kecukupan air untuk tanam palawija lebih dari 1 kali setahun, (3) melakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk palawija (termasuk padi gogo sebagai beras dari pengganti padi sawah), (4) Sertifikasi tanah untuk jaminan kepastian usaha (5) Identifikasi petani penggarap (jumlahnya cukup berdomisili dekat lahan usaha). Jika pengelolaan usahatani lahan kering dilakukan seperti halnya usahatani lahan sawah, maka diharapkan hasilnya dapat terukur dengan baik. Hal ini berkaitan dengan estimasi produksi pangan dan jaminan bahwa setiap usaha peningkatan produksi pangan dapat tercapai dengan baik.  Semoga.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

SUKUN KOTA TERNATE : SUMBER PANGAN YANG BELUM TERGARAP

Sukun ( Artocarpus communis ) merupakan komoditas hortikultura yang sudah dikenal dan berkembang di Maluku Utara. Buah sukun cukup banyak mengandung karbohidrat, sehingga mempunyai potensi sebagai bahan pangan alternatif untuk pengganti beras (diversivikasi pangan) dalam mendukung ketahanan pangan dan bahan olahan lainnya. Pada umumnya, buah sukun di Maluku Utara banyak dimanfaatkan sebagai makanan ringan (camilan), dengan direbus, digoreng maupun dibuat keripik. Untuk diversifikasi makanan, buah sukun dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.  Hasil inventarisasi sukun di Maluku Utara terdapat : (1) Populasi tersebar di semua Kabupaten/Kota di Maluku Utara, yang spesifik terdapat di Maitara dan Kepulauan Sula. Di Maitara ada dua jenis sukun, yaitu sukun telur dan sukun batu (nama lokal); (2) Tinggi pohon berkisar 10-15 m, dengan lebar kanopi + 5 m dari cabang-cabang yang melebar ke samping; (3) Rata-rata umur sukun di Maluku Utara pada