Andriko Noto Susanto
Jogjakarta, 19 Juli 2011
Kepulauan Tanimbar merupakan wilayah darat terluas di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB). Pulau Yamdena luasnya mencapai lebih dari 500.000 ha merupakan pulau terbesar di kepulauan ini. Sumber pangan (karbohidrat) tradisional masyarakat umumnya jagung, padi ladang, ubi kayu, ubi jalar, umbi-umbian lain (uwi, gembili), pisang, dan sukun. Saat ini beras telah menggeser secara sangat nyata pangan tradisional tersebut karena mudahnya akses masyarakat terhadap beras melalui jalur perdagangan dan program pemerintah (beras raskin). Beras tersedia dengan sangat mudah di seluruh pelosok daerah dengan harga yang terjangkau, bahkan ‘gratis’.
Padi Hitam asli dari Tanimbar |
Jauh sebelum beras (padi sawah) menggeser pola pangan tradisional, masyarakat asli memiliki cara bertahan hidup dengan cara bercocok tanam baik secara monokultur maupun polikultur. Padi lokal merah, padi hitam, jagung, kacang tanah, kacang hijau, kacang hijau ’kuning’, dan kacang merah adalah jenis tanaman yang biasanya ditanam secara monokultur. Sedangkan polikultur dilakukan dengan mencampur berbagai tanaman sumber karbohidrat dalam satu areal yang sama dengan tujuan meminimalkan resiko gagal panen dan memaksimalkan frekwensi panen. Komoditas pangan lokal yang ditanam petani secara polikultur dalam satu musim antara lain uwi, kumbili (gembili), talas merah, talas putih, talas kuning, keladi ukuran besar maupun kecil, ubi kayu (singkong), pisang, dan ubi jalar (batatas). Pola bertanam seperti ini masih dilakukan hingga saat ini.
Kisaran luas usaha setiap petani antara 15 m x 25 m sampai dengan 25 m x 50 m. Waktu panen tiap jenis komoditas berbeda-beda menurut umur tanaman dan masa tanam. Pada bulan April umumnya petani panen padi dan jagung; bulan Juni panen ubi jalar (batatas) dan kumbili. Bulan Juli panen kacang tanah, kacang hijau dan kacang merah. Bulan Agustus sampai Oktober panen uwi, talas, keladi, dan ubi kayu, sedangkan pada bulan Desember mulai panen pisang, dan berlangsung terus menerus sepanjang tahun. Pisang ditanam dengan jarak tanam 3 x 2 m sebagai tanaman pagar mengelilingi kebun dan merupakan barisan tanaman pertama. Barisan tanaman kedua, ditanami ubikayu dengan jarak tanam 1 x 1 m. Jarak antara barisan pisang dan ubikayu 1 m. Areal ditengah ditanami dengan jagung serumpun dengan uwi/kumbili (batang jagung berfungsi sebagai tempat menjalar uwi/kumbili), dengan jarak tanam 1 m x 1 m; diantara barisan jagung ditanami talas merah, putih dan keladi dengan jarak 1 x 1m. Dengan cara seperti ini areal pertanaman sekaligus berfungsi sebagai lumbung pangan karena tersedia berbagai jenis bahan pangan yang dapat dipanen setiap saat.
Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan cangkul atau linggis atau kayu yang bagian ujungnya diruncingkan. Kebutuhan benih atau bibit tergantung luas lahan yang digarap. Penanaman dilakukan secara manual dengan jarak tananam beragam menurut komoditas yang ditanam. Pemupukan dan pengendalian hama-penyakit tidak dilakukan. Penyiangan tergantung pertumbuhan gulma. Panen padi menggunakan parang pendek/pisau dan dilakukan secara gotong royong. Perontokan dengan cara memukul pada sebatang kayu dan pengolahan gabah menjadi beras melalui proses penumbukan. Jagung dipanen dengan cara petik buahnya dan batangnya dibiarkan sebagai lanjaran uwi/kumbili.
Dengan luasan pengusahaan rata-rata 1.250 m2 (25 x 50 m) per petani, dapat dihasilkan pada bulan april 45 kg jagung, Agustus 78 kg ubikayu, September 282 kg uwi/gembili, Oktober 841 kg keladi, Desember 180,2 pisang. Prediksi produksi tanaman per ha lahan pada pola ini adalah Padi gogo = 1,98 – 2,00 t/ha , Jagung = 0,90 t/ha, Ubi kayu = 5,92 t/ha, Ubi jalar = 4,51 t/ha, Ubi/uwi = 6,45 t/ha, Kumbili = 6,45 t/ha, Talas = 6,45 t/ha, Keladi = 6,45 t/ha, Kacang Tanah = 0,80 t/ha, Kacang Hijau = 0,62 t/ha, Kacang Merah = 0,60 t/ha dan Pisang = 7,15 t/ha. Selain cara bertanam campuran, petani juga menanam padi hitam atau padi merah dan kacang-kacangan secara monokultur pada bulan Januari – April atau Mei - Agustus. Dengan demikian setiap bulan ada saja hasil panen yang diperoleh petani.
Kearifan lokal tersebut sudah selayaknya dijadikan semangat dalam membangun KEDAULATAN PANGAN yang difasilitasi oleh Pemerintah secara partisipatif. Pemerintah bersama masyarakat harus melindungi dan menentukan sendiri kebijakan pangannya dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin penguasaan petani atas tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil. Dengan melakukan identifikasi secara lebih cermat maka dapat diketahui kesenjangan yang terjadi baik berupa senjang produksi, senjang teknologi, senjang tata kelola ekonomi, senjang infrastruktur, dan senjang SDM yang selanjutnya harus diperbaiki sebagai suatu rencana kerja logis dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Silahkan semua kemampuan yang dimiliki oleh para Pakar dan Ahli (bersama Pemda dan Masyarakat) digunakan sebesar-besarnya untuk mengisi kesenjangan tersebut agar menjadi lebih baik. Jika pola pangan (beras) telah benar-benar merupakan pilihan masyarakat, maka sistem pertanian (terutama lahan dan SDM) harus disesuaikan untuk melewati suatu transisi aman dan nyaman, dalam koridor kedaulatan pangan. Semoga dengan begitu, pelaksanaan pembangunan pertanian dapat lebih bermakna.
Komentar
Posting Komentar