Langsung ke konten utama

TANAH KITA TERANCAM BAHAYA


Andriko Noto Susanto
14 Juli 2011

      Tanah tempat kita berpijak mengadapi ancaman terbesar dalam sejarah bumi justru saat kita sangat mengandalkan peran vitalnya untuk mendukung kehidupan. Steve Banwart  dari Universitas Sheffield  Inggris memperingatkan bahaya tersebut dalam Jurnal Nature terbaru. Diberbagai wilayah di dunia, hilangnya tanah akibat erosi jauh melampaui kemampuan pembentukan tanah secara alami. Intensitas aktivitas manusia juga membawa dampak buruk pada kemampuan tanah dalam memproduksi makanan, menyimpan karbon dari atmosfer, menyaring kontaminasi dari aliran air, dan memelihara biodiversitas yang dibutuhkan.
      Intensitas pangan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan pangan akan menyebabkan tekanan yang luar biasa terhadap tanah pada beberapa dasawarsa mendatang. Tekanan ini ini menjadi lebih parah dengan adanya perubahan iklim global. Bisa jadi ancaman kerusakan tanah jauh lebih cepat dari yang diperkirakan dalam mendukung kehidupan, dan itu artinya derita luar biasa buat umat manusia. 
      Model matematik untuk memprediksi bagaimana tanah dan fungsinya berubah ketika manusia mengintensifkan penggunaan tanah sudah harus bisa dibuat. Para ilmuwan diarahkan untuk menciptakan sebuah desain solusi proaktif, misalnya untuk meningkatkan produksi panen tanpa mengesampingkan fungsi tanah lainnya. Desain model ini harus mampu menjawab secara akurat berapa kebutuhan pangan yang dibutuhkan pada ratusan tahun yang akan datang, dan bagaimana  cara mendapatkannya dengan tetap menjaga kelestarian tanah. Proyek international untuk tujuan ini diberi nama Critical Zone Observatory (CZO) dan dibiayai oleh USA National Science Foundation dan European Commission.

Logika berfikir ini di Negara kita tercinta Indonesia sudah banyak didiskusikan, namun tindakan nyata dalam bentuk kolaborasi penelitian skala besar tidak segera dilakukan. Sebut saja, teknik pemetaan saat ini telah berkembang dari konvensional ke digital dengan memanfaatkan citra satelit resolusi tinggi menggunakan spasial analisis software. Dengan cara ini sudah selayaknya diperoleh peningkatan ketelitian peta, hemat waktu serta biaya. Disamping itu, teknik uji tanah juga telah berkembang dari single-nutrient soil analysis (SNSA)  menjadi multi-nutrient soil analysis (MNSA) memungkinkan pengukuran  hara makro dan mikro dengan satu kali ekstraksi sehingga lebih praktis dengan akurasi yang baik. Pada bagian lain, teknik analisis data statistik sudah mampu mengolah sejumlah besar sifat-sifat tanah (kimia, fisika, biologi) menjadi satu model hubungan dalam satu rumus kolektif untuk menilai kesuburan tanah. Jadi, hasil pemetaan rekomendasi pemupukan berdasarkan status kesuburan tanah yang dievaluasi secara akurat pada suatu wilayah dari pencitraan satelit resolusi tinggi, harus berkorelasi tinggi dengan pasokan asli hara dan produktivitas tanaman. Pendekatan ini diharapkan dilakukan diseluruh daerah sentra produksi pangan di Indonesia.

Saya telah memikirkan ancaman menurunya produktivitas tanah dalam mendukung produksi pangan ini, dan melakukan sebuah penelitian yang bertujuan mengevaluasi status kesuburan tanah secara akurat sebagai dasar peningkatan efisiensi pemupukan. Arahan pemupukan suatu wilayah dalam penelitian ini dapat diketahui sebarannya secara akurat dan takarannya disesuaikan dengan target produksi secara rasional sesuai dengan kesuburan asli tanah. Dalam skala yang tidak terlalu besar penelitian ini telah selesai kami lakukan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TANAH PULAU KISAR : Kesuburan yang terawetkan secara alamiah

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta, 16 Juli 2011 P ulau Kisar terletak di wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) dapat ditandai pada posisi geografis 8°3'29.24"S - 127°10'33.56"E. Pulau ini masuk kecamatan PP. Terselatan dengan ibukota Wonreli, merupakan wilayah paling aktif di kabupaten ini. Dari kota inilah saat ini pemerintahan kabupaten  dikendalikan. Ukuran pulau ini sangat kecil, jarak Utara – Selatan hanya 10,4 km; jarak terjauh dari Timur – Barat adalah 10,22 km; luas 8.500 ha dan keliling pulau sekitar 37 km. Hanya perlu sekitar 40 menit untuk mengelilinginya dengan speedboat jika kecepatanya  60 km/jam. Namun pulau ini dihuni oleh sekitar 18.425 penduduk yang terbagi dalam 12 desa/kelurahan dan termasuk paling padat di MBD. P ulau ini merupakan daerah angkatan coral reef (batu kapur koral) pada kala polistocean dengan umur sekitar 1 juta tahun. Keunikan dari pulau ini adalah bentuknya seperti ‘mangkok’ bagian tengah merupakan hamparan tanah relati

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi