Andriko Noto Susanto
Suara Maluku, Sabtu, 7 Agustus 2004
Di tengah hiruk pikuknya sistem perpolitikan kita sekarang dan siapapun nantinya pemimpin negeri ini, satu hal yang penting buat bangsa Indonesia adalah bagaimana caranya agar rakyat bisa “tetap makan”. Jadi urusan ketahanan pangan harus tetap dijaga dan ditingkatkan terus baik macam, jumlah maupun kwalitasnya. Rakyat ini bisa bekerja dengan baik, berfikir dengan jernih dan bijak jika terlebih dulu perutnya diisi dengan kenyang. Cita-cita sederhana ini tidaklah mudah untuk diwujudkan di Provinsi Maluku, mengingat kompleknya permasalahan yang dihadapi Provinsi ini akibat tragedi kemanusiaan yang hingga kini belum juga tuntas. Hamparan lahan kering yang luas dan sumberdaya manusia yang memadai belum dimanfaatkan dengan baik sebagai dasar membangun sistem pertanian tangguh. Padahal dengan sentuhan teknologi perpaduan kedua potensi tersebut dapat menjadi sebuah kekuatan handal dalam memakmurkan rakyat Maluku.
Salah satu usaha yang berpeluang dapat mengoptimalkan potensi lahan kering yang luas di Maluku adalah dengan agribisnis jagung. Secara sosial jagung telah begitu dikenal oleh masyarakat Maluku, bahkan di Pulau Wetar dan Kisar Kabupaten MTB jagung telah lama dijadikan bahan makanan pokok. Secara Nasional, jagung juga dipilih sebagai komoditas tanaman pangan strategis kedua setelah padi. Posisi jagung semakin penting dibanding tanaman pangan lainnya karena telah digunakannya jagung secara luas sebagai bahan pakan ternak dan industri. Tidak heran jika permintaan jagung terus meningkat setiap tahun baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun eksport.
Proyeksi kekurangan kebutuhan jagung nasional Tahun 2005 adalah 3,8 juta ton dan terus meningkat sekitar 11% per tahun. Pada Tahun 2010 jika tidak terjadi perubahan trend pertanaman jagung, Indonesia akan mengimport sekitar 6 juta ton jagung. Disamping itu, negara-negara maju di Asia seperti Korea Selatan, Jepang, Cina dan Singapura juga terus membutuhkan pasokan jagung sebagai bahan baku agroindustri mereka. Tingginya permintaan terhadap jagung ini merupakan peluang bisnis yang prospektif tidak saja untuk meningkatkan pendapatan petani, tetapi juga berpotensi untuk dijadikan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bisakan Pemprov Maluku memenuhinya ?
Potensi Lahan dan Produktivitas
Berdasarkan peta Zona Agroekologi, Provinsi Maluku memiliki lahan yang berpotensi dikembangkan usahatani tanaman pangan termasuk jagung seluas 918.339 ha. Lahan seluas ini menyebar di Kota Ambon 1.436 ha; Buru 66.785 ha; Malteng, SBB, SBT seluas 298.650 ha; Malra dan Aru 365.781 ha dan MTB seluas 185.687 ha. Luas panen jagung di Maluku tahun 2003 yang lalu berdasarkan catatan BPS berkisar 4.867 ha. Dengan asumsi seperempat saja dari luas total potensi lahan tersebut diperuntukkan untuk usahatani jagung maka berarti baru sekitar 2% potensi lahan tersebut termanfaatkan. Artinya masih terdapat lahan seluas 225.133 ha yang sekarang ini berpotensi untuk dikembangkan agribisnis jagung.
Rata-rata produktivitas jagung di Provinsi Maluku sekarang ini hanya 1,46 ton/ha, jauh lebih rendah dibanding rata-rata Nasional yaitu 3 ton/ha. Potensi hasil varietas unggul baru jagung hibrida saat ini seperti C7 mencapai 11 ton/ha dengan rata-rata hasil 10 ton/ha. Sementara itu penelitian yang dilakukan di Maluku terhadap varietas unggul bersari bebas dan hibrida mampu meningkatkan hasil antara 4 – 6,5 ton/ha. Varietas Kalingga misalnya pernah dicoba disini dengan komponen teknologi lengkap dapat berproduksi hingga 6,2 ton/ha, lebih tinggi dari rata-rata nasional yaitu 5,4 ton/ha. Penggunaan varietas-varietas unggul baru dengan potensi hasil yang lebih tinggi belum pernah dicoba dalam skala luas di Maluku. Varietas-varietas tersebut jika digunakan bersama-sama dengan dukungan teknologi yang saat ini telah siap pakai, maka bisa dipastikan agribisnis jagung di Maluku bisa diwujudkan.
Pentingnya Dukungan Pemda
Rendahnya animo petani kita untuk menanam jagung saat ini disebabkan oleh dua hal utama. Pertama, rendahnya keuntungan usahatani jagung di tingkat petani Maluku akibat rantai pemasaran yang panjang sehingga harga jual ditingkat petani rendah, diperparah mahalnya biaya saprodi. Kedua, rendahnya produksi jagung yang disebabkan kurangnya diseminasi teknologi budidaya jagung yang efektif dan efisien hasil kajian balai-balai komoditas ke tingkat petani.
Peran Pemda dibutuhkan disini untuk memecahkan kedua masalah utama tersebut. Pertama, Pemda harus mampu mencarikan investor yang dapat menjamin penyerapan semua produksi jagung petani dengan harga yang wajar. Investor ini harus mampu memotong rantai pemasaran yang panjang, sehingga petani tidak dirugikan. Disisi lain, petani juga harus memberi jaminan kepada investor bahwa mampu memenuhi kebutuhan jagung dengan jumlah dan kwalitas yang diteapkan secara kontinyu.
Kedua, Pemda harus terlibat aktif dalam menyebarluaskan komponen teknologi dengan cara memfasilitasi kegiatan gelar teknologi dalam skala luas dan dikawal oleh orang-orang yang ahli dan berpengalaman dibidangnya. Untuk kedua hal tersebut Pemprov Maluku dapat belajar banyak dari Pemprov Gorontalo yang telah terlebih dahulu menggeluti agribisnis ini dan hasilnya diberitakan sangat mengutungkan. Nah, jika SDM yang terlibat dalam agribisnis menguasai masalah ini dengan baik dan punya komitmen kuat untuk mencapai keberhasilan (bukan pintar mencari alasan jika terjadi kegagalan); petani yang terlibat mau bekerja sama dengan baik, antusias, mau menerima teknologi dan mampu menerapkannya; maka mewujudkan Maluku sebagai Sentra Jagung Nasional bukan lagi suatu impian. Semoga
Komentar
Posting Komentar