Langsung ke konten utama

Develop agriculture at isle island in mollucas (Membangun Pertanian Pada Pulau-Pulau Kecil di Maluku)

Andriko Noto Susanto
Ambon Ekspres,Sabtu, 18 Oktober 2003


      Pada saat pemerintah kolonial Belanda memerintah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun termasuk Maluku, tentu ia memiliki alasan mendasar ketika lebih memilih pulau Ambon yang kecil bukan pulau Seram yang besar; atau pulau Ternate/Tidore yang kecil bukan pulau Halmahera yang besar; atau juga kenapa di pilih pulau Neira yang kecil bukannya di pulau Lontor yang besar; sebagai pusat kendali suatu sistem dan pusat berbagai aktivitas masyarakat. Secara sederhana kita bisa menduga alasannya bahwa mengontrol segala bentuk aktivitas di pulau kecil jauh lebih mudah dan murah dibanding jika aktivitas-aktivitas masyarakat tersebut menyebar di pulau besar. Secara lebih sederhana lagi tentu jawabannya adalah akan lebih efektif dan efisien memilih pulau kecil sebagai pusat aktivitas masyarakat, mengingat jumlah sumberdaya manusia saat itu masih sangat terbatas.
      Dampak negatif kerusakan lingkungan pada pulau-pulau kecil tersebut telah diperhitungkan dengan sangat matang oleh Belanda terbukti, tata ruang pembangunan termasuk pengaturan saluran-saluran air dibuat dengan sangat baik sehingga bahaya banjir tidak pernah terjadi. Si Belanda rupanya tahu benar bahwa penyebab utama banjir dan erosi yang berakibat pada menurunnya status kesuburan tanah disebabkan oleh limpasan permukaan (run off) yang tinggi dan tidak dibuatkan saluran pembuangan dengan benar. Kerusakan ini kalau tidak diantisipasi dengan baik dan benar potensinya jauh lebih besar jika dibanding dengan aktivitas serupa yang dilakukan pada pulau besar. Lalu apa hubungannya dengan pembangunan sistem pertanian kepulauan di Maluku pada saat ini ?

Potensi Sumberdaya Lahan
      Maluku merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang wilayahnya terdiri dari banyak pulau. Keseluruhan wilayah Maluku tersebar dari 20 30’ - 90 LS sampai 1240 - 1360 BT dimana kurang dari 10% luas wilayahnya merupakan daratan. Luas lautannya sekitar 52.719.100 ha sedang luas daratan ± 4.607.717 ha. Dari luas daratan yang < 10% tersebut masih terbagi dalam 559 pulau yang terdiri dari pulau-pulau besar dengan luas antara > 9.000 km2, pulau sedang dengan luas antara 761 – 9000 km2 dan pulau kecil dengan luas < 761 km2. Pulau besar adalah pulau Seram; pulau sedang adalah pulau Yamdena, Buru, Wokam, Kobrour, dan Trangan. Selebihnya adalah pulau-pulau kecil dan bahkan terpencil. Pemberdayaan pulau-pulau kecil khususnya dalam membangun sistem pertanian kedepan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, karena dihadapkan pada berbagai kendala.
      Kebijakan Pemerintah Daerah membangun Maluku termasuk sektor pertaniannya dengan konsep ‘gugus pulau’ sudah cukup memadai. Konsep ini pada prinsipnya adalah mengelompokkan pulau-pulau berdasarkan kedekatan geografis, kesamaan budaya, kesatuan alam, kecenderungan orientasi, kesamaan perekonomian dan potensi sumberdaya alam. Selanjutnya, perkembangan wilayah akan diarahkan pada pusat-pusat pertumbuhan yaitu pada "pintu-pintu keluar" (multigate system). Pintu-pintu keluar tersebut berada pada kawasan-kawasan yang strategis dan mempunyai potensi besar untuk menjalin keterkaitan ekonomi dengan wilayah luarnya.

Tata Ruang Pembangunan Pertanian
      Sebagai penjabaran dari konsep gugus pulau, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku telah membuat peta tata ruang pembangunan pertanian yang didasarkan pada kesamaan zona agroekologi pada setiap gugus pulau di Maluku yang disajikan dalam skala 1:250.000. Pendekatan zona agroekologi merupakan pemilahan suatu wilayah pengembangan pertanian menjadi unit-unit yang lebih kecil dan memiliki karakteristik yang relatif homogen sehingga rekomendasi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan potensi pertanian yang dimiliki wilayah tersebut. Kebijakan pembangunan pertanian yang mengacu pada peta ini telah mempertimbangkan kelayakannya baik secara biofisik, ekonomi dan sosial sehingga hasil yang dicapai diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup petani setempat secara nyata. Peningkatan taraf hidup tersebut disebabkan produk pertanian yang dihasilkan telah sesuai dengan perspektif peluang pasar sehingga manfaatnya dalam menunjang pembangunan eko-regional menjadi optimal.
       Dalam analisis ini suatu wilayah dibagi kedalam beberapa sistem yaitu kehutanan, perkebunan, wanatani, pertanian lahan kering, pertanian lahan basah, padang penggembalaan, hutan pantai dan perikanan dengan memanfaatkan lahan pasang surut. Hasilnya dari luas total daratan di Provinsi Maluku (4.607.717 ha) sebanyak 53,2%-nya atau 2.450.182 ha adalah areal yang berpotensi untuk pengembangan pertanian tanaman pangan, hortikultura (918.339 ha), perkebunan (1.398.672 ha), padang penggembalaan (33.957 ha) dan perikanan tambak pasang surut (99.214 ha).
      Ada satu hal yang sedikit menggajal dari hasil pemetaan tersebut, yaitu pulau-pulau kecil yang telah dihuni masyarakat ratusan tahun dan telah diusahakan secara turun-menurun direkomendasikan untuk dihutankan mengingat ketakutan ancaman kerusakan lingkungan dikemudian hari. Hal ini tentu tidak manusiawi, karena tidak sepantasnya dilakukan ekstradisi masyarakat setempat yang telah memiliki ikatan emosional sangat kuat dengan salah satu pulau di provinsi ini, dengan alasan suatu saat nanti lingkungan akan rusak akibat aktivitas mereka. Ancaman kerusakan lingkungan adalah suatu tantangan yang harus dipecahkan tanpa harus mengorbankan terlalu banyak kepentingan masyarakat. Sebagai contoh, kepulauan Banda yang terkenal sebagai penghasil pala nomor satu di dunia, di peta zona agroekologi skala 1:250.000 masuk dalam zona yang harus dihutankan. Demikian juga pada kebanyakan pulau-pulau kecil di kepulauan Kai, Seram Timur, Serwaru, Aru dan pulau-pulau Lease.
      Salah satu model pemecahan dari masalah diatas adalah dengan mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan dari pulau-pulau kecil tersebut dengan pemetaan dalam skala yang lebih detail, misalnya pada skala 1 : 50.000. Dengan skala ini areal pertanian dengan luas minimal 6,25 ha dapat dibedakan dengan areal non pertanian, dimana ketelitian ini tidak dapat dicapai pada peta skala 1:250.000. Dengan pemetaan skala 1:50.000 dapat diketahui informasi secara lebih rinci mengenai tanah, kesesuaian lahan untuk berbagai komoditas pertanian unggulan serta faktor-faktor kendala lahan dan alternatif pemecahannya, arahan penggunaan lahan secara rasional dan dosis anjuran pemupukan komoditas pertanian.

Tantangan dalam Pemetaan Pulau-Pulau Kecil
      Keinginan untuk mengetahui potensi sumberdaya lahan pada pulau-pulau kecil secara lebih detail selalu dihadapkan pada satu kendala utama yaitu tidak tersedianya data dasar yang memadai untuk penyusunan peta kerja lapang seperti foto udara, citra satelit dan peta topografi dalam skala yang cocok. Sedangkan untuk melakukan pemetaan secara konvensional dibutuhkan dukungan dana dan waktu yang relatif besar dan lama. Pemetaan yang telah dilakukan oleh berbagai pihak selama ini pada lokasi-lokasi tertentu tidak terkoordinasi dengan baik sehingga aksesibilitas data menjadi tidak terkontrol.
      Satu hal utama yang perlu dipikirkan dan sekaligus tantangan kita bersama adalah bagaimana caranya mengadakan data-data dasar tersebut dan sekaligus mengumpulkan kembali berbagai data dan informasi yang sekarang ini mungkin berserakan diberbagai instansi, perusahaan, LSM maupun swasta di Indonesia. Data-data tersebut selanjutnya didatabasekan dalam bentuk album peta, album foto udara dan album citra satelit dilengkapi dengan data-data digital dan disimpan oleh suatu instansi yang berwenang. Jika pengadaan foto udara dirasakan terlalu mahal, maka bisa difikirkan untuk penggunaan citra satelit sebagai identifikasi awal.
      Teknologi pengideraan jauh dengan citra satelit saat ini telah memungkinkan untuk melakukan pemotretan sampai skala 1:50.000 dengan kualitas cukup baik dan biaya relatif murah. Penggunaan citra satelit saat ini telah banyak digunakan oleh berbagai instansi sebagai pilihan yang relatif cepat dan murah untuk mempelajari keadaan wilayah termasuk potensi sumberdaya lahannya. Selain itu jika diinginkan gambar digital tersebut bisa diupdate secara kontinyu dalam jarak waktu tertentu, tentu saja dengan kepentingan dan pertimbangan tertentu pula. Dengan berbekal data dasar tersebut, selanjutnya dapat disusun urutan prioritas pemetaan, mengingat begitu banyak pulau kecil yang ada di Maluku. Seleksi awal yang bisa dipakai sebagai dasar adalah kepadatan penduduk, aktivitas pertanian, produksi hasil pertanian dan sumbangan terhadap PAD. Asumsi yang dipakai adalah jika suatu pulau kepadatan penduduknya tinggi, banyak aktivitas pertanian dan merupakan sentra produksi komoditas tertentu serta menyumbang PAD dalam jumlah relatif besar maka pulau tersebut disukai banyak orang dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai proyek percontohan pemberdayaan sistem usaha tani pulau kecil di Maluku.Pentingnya Pendekatan Secara Partisipatif
      Agar pendekatan pemberdayaan yang diinginkan tepat sasaran maka diperlukan pendekatan pedesaan di pulau-pulau kecil secara partisipatif. Dalam hal ini masyarakat setempat dilibatkan secara aktif dalam setiap diskusi sebagai proses dalam pengambilan keputusan mengenai apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Keterlibatan para ahli dari berbagai disiplin ilmu dibutuhkan agar kualitas analisis data yang dijadikan dasar pengambilan keputusan dapat dirumuskan dengan baik dan komprehensip. Hasil dari pendekatan secara partisipatif ini selanjutnya disusun dalam bentuk logical framework yang harus dijadikan sebagai indikator kinerja dari setiap kegiatan/program yang direncanakan.
      Pendekatan ini sangat diperlukan agar kebiasaan yang dilakukan selama ini yaitu sistem kebijakan dari atas ke bawah (top-down) yang tidak selalu sesuai dengan keinginan masyarakat setempat dapat dirubah menjadi pola bottom-up. Akibat pola top-down tersebut adalah tidak terjadi keberlanjutan program dan rendahnya adopsi masyarakat terhadap teknologi baru yang diperkenalkan disebabkan tidak cocok dengan kondisi sosial – ekonomi mereka. Akhirnya, hasil dari identifikasi potensi sumberdaya lahan berupa peta tata ruang skala detail tersebut digabungkan dengan logical framework hasil analisis pendekatan pedesaan secara partisipatif, dan selanjutnya dijadikan dasar dalam penyusunan rencana strategis pengembangan wilayah. Dampak dari kebijakan ini adalah secara bertahap namun pasti Pemerintah Daerah Provinsi Maluku akan mampu merumuskan pola pemberdayaan pulau-pulau kecil secara mandiri yang tentu saja bisa berbeda dengan pola yang dianut selama ini. Keberhasilan pemberdayaan satu pulau kecil ini akan terus menerus disosialisasikan ke berbagai pulau-pulau kecil lainnya dalam konsep gugus pulau sehingga semakin lama pekerjaan menjadi semakin mudah dan ringan. Pulau-pulau kecil ini ibarat grass rootnya wilayah provinsi Maluku, jika grass root ini dapat diberdayakan maka wilayah provinsi Maluku yang besar dengan sendirinya akan tercipta tanpa harus membuat konsep yang ambisius. Sekian

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

SUKUN KOTA TERNATE : SUMBER PANGAN YANG BELUM TERGARAP

Sukun ( Artocarpus communis ) merupakan komoditas hortikultura yang sudah dikenal dan berkembang di Maluku Utara. Buah sukun cukup banyak mengandung karbohidrat, sehingga mempunyai potensi sebagai bahan pangan alternatif untuk pengganti beras (diversivikasi pangan) dalam mendukung ketahanan pangan dan bahan olahan lainnya. Pada umumnya, buah sukun di Maluku Utara banyak dimanfaatkan sebagai makanan ringan (camilan), dengan direbus, digoreng maupun dibuat keripik. Untuk diversifikasi makanan, buah sukun dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.  Hasil inventarisasi sukun di Maluku Utara terdapat : (1) Populasi tersebar di semua Kabupaten/Kota di Maluku Utara, yang spesifik terdapat di Maitara dan Kepulauan Sula. Di Maitara ada dua jenis sukun, yaitu sukun telur dan sukun batu (nama lokal); (2) Tinggi pohon berkisar 10-15 m, dengan lebar kanopi + 5 m dari cabang-cabang yang melebar ke samping; (3) Rata-rata umur sukun di Maluku Utara pada