Langsung ke konten utama

PETA JALAN (ROAD MAP) PENGEMBANGAN KOMODITAS CENGKEH DI SBB

Andriko Noto Susanto

Konflik sosial yang terjadi di Provinsi Maluku pada Tahun 1999 sampai dengan 2001 telah menghancurkan sebagian besar areal pertanian tanaman pangan, sayur sayuran, buah buahan dan perkebunan. Total luas areal tanam/panen pada akhir Tahun 2004, masih jauh lebih kecil dibanding areal (penggunaan yang sama) pada Tahun 1992. Peningkatan areal tanam/panen sejak Tahun 2000 sampai sekarang masih berjalan lambat, sehingga berdampak pada rendahnya total produksi komoditas pertanian di Provinsi Maluku. Pemulihan kembali (recovery) bidang pertanian harus segera ditingkatkan perkembangannya dengan melakukan penataan dan pemanfaatan kembali lahan-lahan pertanian yang telah terbengkalai dengan menanam tanaman produktif yang dapat meningkatkan pendapatan petani secara nyata. Berdasarkan data BPS selama 12 tahun terakhir (Tahun 1992 – 2004), seperti dilaporkan oleh Susanto dan Bustaman (2006), tercatat bahwa luas areal tanam komoditas perkebunan mengalami kemunduran yang paling mencolok dibandingkan dengan tanaman pangan, sayur-sayuran dan buah-buahan. Kemunduran ini diduga terbengkalainya areal pertanaman akibat eksodus pemiliknya ke luar Maluku
Di sub sektor perkebunan, kelapa merupakan komoditas yang mengalami penurunan areal tanam paling tajam selama konflik sosial di Maluku Tahun 1999. Namun komoditas spesifik lokasi Maluku seperti cengkeh, tidak terlalu terpengaruh dan menunjukkan kenaikan yang signifikan sampai tahun 2004. Total areal tanam cengkeh Tahun 2004 adalah seluas 35.129,7 ha telah lebih tinggi dibanding Tahun 1998 seluas 34.965 ha. Karena sifatnya yang tahan terhadap goncangan ini, maka cengkeh ke depan bisa difikirkan untuk terus ditingkatkan baik pengusahaannya maupun produktivitasnya sebagai komoditas unggulan dan andalan Provinsi Maluku. Komoditas lain yang tergolong cepat peningkatan luas areal tanamnya pasca konflik adalah kakao. Selama tahun 2002 dan 2003 terjadi peningkatan yang cukup tajam yaitu berturut-turut 10.480,3 dan 15.200,0 ha, padahal tahun 2000 baru mencapai 7.698,0 ha

Sejarah dan Agroekonomi Cengkeh

Sejarah mencatat bahwa komoditas cengkeh di Provinsi Maluku telah dibudidayakan penduduk sejak ratusan tahun yang lalu. Cengkeh sebagai salah satu tanaman rempah telah menarik pedagang-pedagang dari benua Eropa (Portugis, Spanyol dan Belanda) untuk menjelajahi wilayah ini sejak abad ke 16 karena nilai ekonominya yang tinggi. Komoditas ini telah menjadi tumpuan hidup masyarakat Maluku sehingga menjadi basis dalam penyerapan tenaga kerja dan penyediaan lapangan berusaha. Dengan demikian cengkeh ‘doeloe’ berperan sebagai kontributor penting dalam perekonomian daerah dan nasional serta menjadi pioner dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat karena didukung penuh oleh kondisi sosial budaya masyarakat. Harga jual cengkeh yang tinggi, membuat petani begitu antusias mengelola tanaman cengkeh sehingga pada saat itu banyak sedikitnya kepemilikan pohon cengkeh masyarakat Maluku, menjadi salah satu ukuran tingkat kemapanan status sosial dan ekonomi seseorang.

Perkembangan sejarah selanjutnya mencatat bahwa terjadi fluktuasi yang sangat tinggi menyangkut usahatani cengkeh Maluku maupun Nasional. Pada tingkat nasional cengkeh merupakan salah satu bahan baku utama rokok kretek yang mencakup 80% produksi rokok nasional. Disamping pengaruh negatif rokok terhadap kesehatan, peranan rokok kretek dalam perekonomian nasional sangat nyata, antara lain menyumbang sekitar Rp 23,2 triliun dari perkiraan Rp 29,0 triliun penerimaan cukai rokok. Tenaga yang terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam industri rokok kretek meliputi sektor pertanian, industri rokok, perdagangan dan sektor informal mampu menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja.

Di Provinsi Maluku termasuk Kabupaten Seram Bagian Barat, akibat konflik horisontal yang terjadi pada Tahun 1999 – 2000 berdampak pada terbengkalainya areal perkebunan secara luas. Luas areal perkebunan menurun drastis dari 352.904 ha pada Tahun 2008 menjadi hanya 143.489 ha pada Tahun 2001 atau menurun sekitar 40,5%. Namun yang perlu dicatat bahwa penurunan tersebut signifikan terjadi pada komoditas kelapa, kakao, jambu mete, kopi dan kurang signifikan terjadi pada cengkeh dan pala. Tercatat luas areal cengkeh pada Tahun 1998 seluas 34.965 ha, kemudian menurun menjadi 24.432 ha pada Tahun 2001, namun meningkat menjadi 35.629 ha pada Tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa di Provinsi Maluku usahatani cengkeh memiliki resistensi yang lebih baik terhadap goncangan dibanding komoditas perkebunan lainnya.

Kinerja Usahatani Cengkeh

Produksi cengkeh di Kabupaten SBB, berdasarkan data rata-rata produksi selama 5 tahun terakhir, mampu memasok 1.220,4 ton atau 11% dari produksi cengkeh Maluku sebesar 11.131,99 ton. Rerata produksi cengkeh selama 5 (lima) tahun terakhir juga menunjukkan laju peningkatan yang positif sebesar 7,9%, sementara wilayah lain di Provinsi Maluku menunjukkan laju negatif. Hal ini menujukkan bahwa motivasi petani cengkeh dan kondisi pertanaman cengkeh di Seram Bagian Barat diduga lebih baik dibanding wilayah lain di Provinsi Maluku.

Total luas areal cengkeh (tanaman seluruhnya) di SBB dari Tahun 2001 sampai 2005 menunjukkan peningkatan dengan laju 5,1%, sedangkan luas panen menunjukkan peningkatan laju yang sangat kecil yaitu hanya 0,95%. Laju tanaman belum menghasilkan selama 5 tahun terakhir meningkat 14,7%; laju tanaman tua dan rusak juga meningkat dengan laju 19,1%. Kinerja perkebunan cengkeh rakyat seperti tersebut menunjukkan bahwa cengkeh masih diposisikan sebagai komoditas yang dapat menopang hidup masyarakat karena mampu memberikan peningkatan pendapatan secara relatif menguntungkan. Hal ini ditandai dengan peningkatan laju penanaman kembali cengkeh untuk menggantikan tanaman tua maupun usaha ekstensifikasi walaupun dengan laju peningkatan yang masih lebih rendah dibanding laju tanaman tua dan rusak.

Rata-rata produktivitas cengkeh yang dicapai oleh kabupaten SBB adalah sebesar 320 kg/ha sudah lebih tinggi jika dibanding rata-rata nasional Tahun 2006 yaitu sebesar 235 kg/ha, namun masih lebih rendah jika dibanding produktivitas rata-rata yang mampu dicapai perkebunan besar cengkeh yang diusahakan swasta yaitu 337 kg/ha. Bahkan di Provinsi Jawa Tengah (Semarang dan Kendal) produktivitas cengkeh swasta mampu mencapai 525 kg/ha (Dirjen Perkebunan, 2006). Agribisnis cengkeh yang dilakukan swasta umumnya menerapkan teknologi pemupukan dan PHT sehingga hasilnya lebih tinggi dibanding usahatani cengkeh rakyat yang tidak pernah melakukan pemupukan dan PHT.

Berdasarkan hasil pengolahan data yang bersumber dari BPS Kabupaten SBB Tahun 2006, tercatat PDRB dari bidang Pertanian Tahun 2006 adalah Rp. 130.562.870.000; dari total tersebut sebesar 16,30% adalah kontribusi dari subsektor Perkebunan. Komoditas cengkeh mampu berkontribusi sebesar 8,96% terhadap total PDRB pertanian dan 54,99% dari PDRB subsektor perkebunan. Rata-rata penerimaan rumah tangga yang berusaha disektor perkebunan per bulan adalah Rp. 320.808,4; sedangkan rata-rata penerimaan rumah tangga cengkeh adalah Rp. 94.367/bulan. Walaupun kontribusi cengkeh cukup signifikan dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan PDRB, namun nilai yang diperoleh masih tergolong rendah sehingga masih perlu ditingkatkan lagi. Dirjen perkebunan mematok target pendapatan pekebun sebesar 1.500 US$/kapita/tahun.

Prospek Pengembangan Cengkeh

Pada Tahun 1995 terjadi kekurangan pasokan cengkeh di dalam negeri, sehingga merangsang peningkatan harga jual sehingga berdampak pulihnya antusiasme masyarakat pekebun dalam merawat kembali cengkeh. Pada tahun 1995 produksi cengkeh nasional mencapai 90.007 ton dan kemudian turun menjadi 52.903 ton pada saat panen kecil tahun 1999 dan hanya mencapai 79.009 pada saat panen besar tahun 2002. Di lain pihak kebutuhan cengkeh untuk rokok kretek naik menjadi rata-rata 92.133 ton/tahun. Terjadinya kekurangan pasokan tersebut merupakan tantangan bagi petani dan pengusaha untuk dapat memenuhinya. Keseimbangan pasokan terhadap permintaan dapat dilakukan melalui intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan tanaman, didukung dengan harga beli yang layak oleh pabrik rokok maupun industri lainnya. Proyeksi yang dibuat oleh Dirjen Perkebunan Departemen Pertanian Tahun 2006, mencatat bahwa sampai Tahun 2009 ditargetkan terjadi penambahan luas areal cengkeh Nasional sebesar 457.848 ha dengan total produksi 87.115 ton. Kabupaten SBB dapat berperan serta dalam mengisi target tersebut dengan memberdayakan areal cengkeh saat ini (intensifikasi), maupun rehabilitasi dan ekstensifikasi.

Dengan asumsi luas areal usaha rumah tangga dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat, produktivitas dapat ditingkatkan ½ kali, luas usaha produktif (persen tanaman menghasilkan) ditingkatkan menjadi 80%, ekstensifikasi dapat diarahkan untuk menyerap 50% pengangguran, maka kedepan cengkeh di SBB dapat berkontribusi terhadap peningkatan PDRB sebesar 300% dari subsektor perkebunan dibanding PDRB subsektor perkebunan Tahun 2006, mampu menyerap tenaga kerja 40 – 86%, meningkatkan pendapatan rata-rata pekebun/bulan menjadi Rp.1.910.983,73 (sebelumnya = Rp. 320.808,4), meningkatkan rata-rata pendapatan rumah tangga percengkehan/bulan sebesar Rp. 789.458,- (sebelumnya Rp. 94.367) dan kontinuitas produksi dapat terjamin. Pasar cengkeh berdasarkan data dari Dirjen Perkebunan (2006) terbuka di India, Banglades, Arab Saudi, Vietnam, Taiwan, Uni Emirat Arab, Singapura, Pakistan, Suriah, Amerika Serikat, dan Negara lainnya dengan volume 7.680 Ton. Tercatat pula bahwa Indonesia pernah mengekspor cengkeh sampai 20.157 ton pada Tahun 1998. Sementara itu kebutuhan dalam negeri kita diperkirakan sekitar 100.000 ton/tahun.

Dengan perhitungan sederhana, maka berdasarkan data Tahun 2006, peluang pasar cengkeh masih terbuka sebesar 35.051 ton untuk memenuhi kekurangan permintaan dalam negeri dan target ekspor 20.000 ton/tahun. Kekurangan produksi sebanyak itu dapat dipenuhi dengan menambah areal tanam seluas sekitar 116.837 ha (produktivitas 300 kg/ha). Kabupaten SBB memiliki potensi pengembangan cengkeh seluas 31.445,19 ha, sehingga masih dapat dengan leluasa berperan serta dalam memenuhi target tersebut. Keseimbangan pasokan terhadap permintaan cengkeh ini dapat dilakukan melalui intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan tanaman, didukung dengan harga beli yang layak oleh pabrik rokok maupun industri lainnya yang memanfaatkan bahan baku dari tanaman cengkeh. Aspek spesifik lain yang mendukung pengembangan cengkeh di SBB adalah kondisi sosial masyarakat yang telah terbiasa berusaha tani cengkeh secara turun-temurun, dan didukung oleh kondisi biofisik lahan (tanah dan iklim) yang sesuai untuk pertumbuhan cengkeh.

Permasalahan Pengembangan Cengkeh

Beberapa hal yang menjadi kendala mendasar dalam usahatani Cengkeh di Maluku pada umumnya dan kabupaten Seram Bagian Barat pada khususnya selain ketidakpastian harga jual akhir-akhir ini adalah (1) Masa awal produksi cengkeh yang cukup lama yaitu setelah umur 5 – 7 tahun, (2) Fluktuasi hasil yang cukup tinggi yang dikenal dengan siklus 2 – 4 tahun (tingginya produksi pada satu tahun tertentu, biasanya diikuti dengan penurunan produksi pada 1 atau 2 tahun berikutnya), (3) Akibat harga berfluktuasi, menyebabkan minat petani cengkeh dalam merawat kebun cengkehpun menjadi tidak stabil sehingga berdampak pada perawatan kebun yang kurang optimal. Seiring dengan semangat “Revitalisasi Pertanian” seperti yang dicanangkan Pemerintah, yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi nasional dengan cara meningkatkan pemanfaatan sumber daya pertanian secara berkelanjutan dan meningkatkan daya saing/nilai tambah produk pertanian, maka sudah selayaknya revitalisasi tersebut juga dilakukan dalam agribisnis cengkeh. Ini penting, mengingat sumbangannya yang besar terhadap pendapatan negara dan penyedia lapangan kerja. Dilain pihak pasokan cengkeh sebagai bahan baku rokok kretek akhir-akhir ini juga cenderung semakin menurun, sementara itu industri lain yang menggunakan bahan baku minyak cengkeh semakin berkembang.

Revitalisasi dalam agribisnis cengkeh saat ini paling tidak diarahkan untuk memenuhi dua kebutuhan pokok yaitu (1) pengamanan penyediaan cengkeh untuk industri rokok serta (2) pengamanan pendapatan petani sebagai produsen cengkeh. Kedepan jika dua hal ini dapat dicapai dengan baik, dapat dikembangkan untuk meningkatkan volume ekspor dan diversifikasi produk dengan menghasilkan minyak cengkeh yang pasarnya masih terbuka luas.

Dukungan Kebijakan Pemerintah

Pemerintah telah membuat indikator mikro pembangunan perkebunan yang dapat dijadikan tolok ukur bentuk dukungan kebijakan pemerintah terhadap para pekebun termasuk pekebun cengkeh. Indikator mikro tersebut antara lain adalah peningkatan produktivitas 71% dari potensi komoditas perkebunan yang diusahakan, peningkatan pendapatan pekebun US$ 1.400/KK/Tahun/2 ha, penambahan areal sebesar 1.160.000 ha, keterlibatan petani 18.450.000 KK dan penumbuhan 84 sentra pengembangan perkebunan baru di seluruh Indonesia (Mangga Barani, 2007).

Pemerintah Provinsi Maluku juga telah menetapkan program aksi penanaman satu juta pohon, dengan memberdayakan lahan-lahan terlantar dengan menanam cengkeh, kelapa dan pala. Sementara Pemerintah Kabupaten SBB juga telah menetapkan komodita Kakao, Kelapa, Cengkeh, dan Sagu sebagai komoditas perkebunan unggulan (Dinas Pertanian Provinsi Maluku, 2007). Dengan pertimbangan beberapa aspek seperti dipaparkan diatas (selain dasar perhitungan kwantitatif seperti akan dijabarkan dalam bab berikut), maka dipandang perlu road map perkebunan di kabupaten Seram Bagian Barat memilih komoditas cengkeh sebagai komoditas unggulan utama dalam membangun sektor perkebunan.

Catatan :

Penyusunan roadmap ini merupakan bagian dari pekerjaan yang diberikan oleh Dinas Pertanian Provinsi Maluku kepada Peneliti BPTP Maluku. Detail informasi mengenai step by step revitalisasi cengkeh rakyat di SBB ini terdapat pada laporan lengkap. Paket penyusunan roadmap ini terdiri dari : Peta Jalan (Road Map) Pengembangan Komoditas Cengkeh Di Kabupaten Maluku Tengah; Cengkeh Di Kabupaten Seram Bagian Barat; Kakao Di Kabupaten Buru; Kelapa Di Kabupaten Kepulauan Aru; Kelapa Di Kabupaten Maluku Tenggara; Kelapa Di Kabupaten Maluku Tenggara Barat; Pala Di Kabupaten Seram Bagian Timur; Ternak Ayam Buras Di Kota Ambon; Kambing Di Kabupaten Maluku Tenggara; Kambing Di Kabupaten Maluku Tenggara Barat; Ternak Sapi Di Kabupaten Buru; Sapi Di Kabupaten Maluku Tengah; Sapi Di Kabupaten SBB; Sapi Di Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT); dan Kambing Di Kabupaten Aru

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

SUKUN KOTA TERNATE : SUMBER PANGAN YANG BELUM TERGARAP

Sukun ( Artocarpus communis ) merupakan komoditas hortikultura yang sudah dikenal dan berkembang di Maluku Utara. Buah sukun cukup banyak mengandung karbohidrat, sehingga mempunyai potensi sebagai bahan pangan alternatif untuk pengganti beras (diversivikasi pangan) dalam mendukung ketahanan pangan dan bahan olahan lainnya. Pada umumnya, buah sukun di Maluku Utara banyak dimanfaatkan sebagai makanan ringan (camilan), dengan direbus, digoreng maupun dibuat keripik. Untuk diversifikasi makanan, buah sukun dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.  Hasil inventarisasi sukun di Maluku Utara terdapat : (1) Populasi tersebar di semua Kabupaten/Kota di Maluku Utara, yang spesifik terdapat di Maitara dan Kepulauan Sula. Di Maitara ada dua jenis sukun, yaitu sukun telur dan sukun batu (nama lokal); (2) Tinggi pohon berkisar 10-15 m, dengan lebar kanopi + 5 m dari cabang-cabang yang melebar ke samping; (3) Rata-rata umur sukun di Maluku Utara pada