Langsung ke konten utama

Farming System Zone in Waeapo Plain, Buru Island, Mollucas Province


Andriko Noto Susanto, Marthen P Sirappa, Alex J Rieuwpassa

The study aimed to determine the zoning of farming systems and land management alternatives to address the growth limiting factor on agricultural lands in the lowlands of Waeapo, Buru Island was conducted in an area of ​​25,400 ha. Land evaluation performed on each soil mapping units (SMU) are delineated based on mapping the landscape approach. While the direction of land use based on technical considerations, economic and land suitability class is best for any type of commodity or commodity group in each SMU. The results showed that the use of land in Plain Waeapo directed to Lowland agriculture (paddy) covering 16,033 ha (63%), farming rice and vegetables, covering an area of ​​1,168 ha (4.6%), dry land farming (upland rice, corn, soybeans and peanuts) covering 533 ha (2.1%), coconut plantations covering an area of ​​2,210 ha (8.7%) and conservation of forest area of ​​6,654 ha (26.2%). The limiting factor is the growth is nutrient retention, oxygen availability, rooting media, sulfidic hazard, flood and erosion hazards. Land management can be done by liming, fertilizer organic/inorganic, manufacturing talid flood control, create drainage channels, and conservation tillage systems.

Note :
Susanto, A.N., M.P. Sirappa, A.J. Rieuwpassa, dan E.D. Waas. 2005a Pewilayahan Sistem Usahatani (Farming System Zone) pada Dataran Waeapo di Pulau Buru, Provinsi Maluku, dalam Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Berwawasan Agribisnis Mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah Kepulauan. Penyunting : A. Hasanuddin; A. Tupamahu; J.B. Alfons; M.J. Pattinama; M.P. Sirappa; S. Bustaman dan M. Titahena. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. p.157-167.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

SUKUN KOTA TERNATE : SUMBER PANGAN YANG BELUM TERGARAP

Sukun ( Artocarpus communis ) merupakan komoditas hortikultura yang sudah dikenal dan berkembang di Maluku Utara. Buah sukun cukup banyak mengandung karbohidrat, sehingga mempunyai potensi sebagai bahan pangan alternatif untuk pengganti beras (diversivikasi pangan) dalam mendukung ketahanan pangan dan bahan olahan lainnya. Pada umumnya, buah sukun di Maluku Utara banyak dimanfaatkan sebagai makanan ringan (camilan), dengan direbus, digoreng maupun dibuat keripik. Untuk diversifikasi makanan, buah sukun dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.  Hasil inventarisasi sukun di Maluku Utara terdapat : (1) Populasi tersebar di semua Kabupaten/Kota di Maluku Utara, yang spesifik terdapat di Maitara dan Kepulauan Sula. Di Maitara ada dua jenis sukun, yaitu sukun telur dan sukun batu (nama lokal); (2) Tinggi pohon berkisar 10-15 m, dengan lebar kanopi + 5 m dari cabang-cabang yang melebar ke samping; (3) Rata-rata umur sukun di Maluku Utara pada