Langsung ke konten utama

Realizing Food Security With Sagoo, Is It Possible?

Andriko Noto Susanto
Surat kabar : Ambon Ekspres, 5 November 2003

      Sagu dan Maluku adalah dua hal yang tidak pernah bisa dipisahkan, telah diingat oleh anak-anak sejak sekolah dasar hingga jadi obyek penelitian strategis tingkat Nasional. Sejarah sagu sebagai bahan makanan mungkin sama tuanya dengan sejarah manusia pertama yang mendiami kepulauan Maluku ini. Sagu terlanjur dipandang sebagai salah satu sumber daya hayati yang dapat digunakan sebagai alternatif dalam memecahkan masalah pangan dan energi di Kawasan Timur Indonesia terutama Maluku dan Irian Jaya. Namun terasakah, ada kebijakan di provinsi ini yang telah berpihak pada Sagu ?
      Ada tiga hal utama yang dapat dijadikan ukuran apakah sagu dapat dijadikan obyek agribisnis yang strategis, sehingga mampu mewujudkan ketahanan pangan atau tidak. Ketiga hal tersebut adalah secara biofisik sagu dapat dikembangkan, secara sosial bisa diterima oleh masyarakat setempat dan secara ekonomi menguntungkan. Mengukur ketiga parameter tersebut secara kwantitatif sampai sekarang masih dirasakan sulit mengingat terbatasnya data dan tidak kontinyunya pengambilan data mengenai Sagu dan sekitarnya. Bahkan BPS Pusatpun belum begitu tertarik untuk memasukkan data sagu sebagai data yang mesti diambil secara periodik setiap tahun.

Kesesuaian Biofisik Sagu
      Berdasarkan kesesuaian secara biofisik, potensi lahan untuk mengembangkan Sagu di Maluku baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi mencapai 918.339 ha yang tersebar di Ambon 1.436 ha, Buru 66.785 ha, Malteng 298.650 ha, Malra 365.781 dan MTB 185.687 ha. Potensi lahan tersebut secara agroekologis memiliki kesamaan dengan usaha pengembangan tanaman pangan lainnya dan hortikultura, sehingga seringkali terjadi alih fungsi lahan sagu menjadi tanaman pangan non sagu dan hortikultura. Penulis masih ingat ketika datang pada tahun 1990 di Provinsi ini, sepanjang perjalanan dari Laha sampai Kota Ambon masih terdapat kantong-kantong pertumbuhan sagu yang cukup baik seperti di Tawiri, Riang, Wayame, Rumah tiga, Poka, Waiheru, Passo sampai Galala, sekarang sebagian besar areal sagu tersebut telah berubah menjadi kebun sayur, kebun kasbi bahkan pemukiman.
       Luas riil areal Sagu di Dunia diperkirakan 2,2 juta ha; dari luasan tersebut lebih dari setengahnya (1.4 juta ha) ada di Indonesia; dan dari 1,4 juta ha yang ada di Indonesia tersebut, 1 juta ha-nya ada di Irian Jaya dan Maluku. Di Maluku sendiri berdasarkan survei yang dilakukan BPPT, memiliki areal sagu seluas 80.000 ha. Namun apakah Indonesa menjadi pengekspor sagu nomor satu didunia ? Tidak. Penjual sagu terbesar dunia adalah Serawak (Malaysia Timur).
      Semua jenis sagu yang tumbuh di Indonesia, ada di Maluku. Dua jenis sagu diantarannya yang mempunyai nilai komersial tinggi adalah Metroxylon Sagus dan Metroxylon rumphii yang umumnya menyebar di daerah basah di Maluku dan Irian Jaya. Diperkirakan ada 15 jenis sagu (5 jenis tidak berduri, 8 jenis berduri pendek dan 2 jenis berduri panjang) yang tumbuh di Maluku dan sekarang dijadikan sumber karbohidrat tradisional oleh penduduk setempat. Sagu tersebut umumnya siap di panen setelah berumur antara 10 – 15 tahun. Rata-rata produksi tiap pohon sagu adalah 150 – 200 kg pati kering atau 450 – 600 kg pati sagu basah. Jadi sudah tidak ada keraguan lagi bahwa secara biofisik Maluku adalah memang habitatnya Sagu.

Kecocokan Secara Sosial
      Tidak perlu repot-repot mengukur kecocokan sagu secara sosial. Coba kita tanya, apakah Pak Gubernur dan Pak Walikota kita yang mewakili kelompok masyarakat strata tinggi dan kebanyakan masyarakat Maluku yang mewakili kelompok umum, masih menyukai makanan papeda panas dengan kuah kuning ikan Merah, Sagu lempeng, buburnee, Sagu tutupala, Sagu uha, Sinoli, Bagea dan sebagainya. Jika jawabannya sangat suka, jadi so pasti secara sosial Sagu diterima untuk dikembangkan di Maluku.
      Dilihat dari nilai gizi yang terkandung, Sagu juga tidak terlalu berbeda dengan Beras. Kandungan kalori Sagu per 100 gram bahan adalah 353 kal, tidak terlalu rendah jika dibanding dengan Beras (359 kal). Bahkan kandungan karbohidrat (84,7 g), kalsium (11 mg) dan besi (1,5 mg) sagu sedikit lebih tinggi dibanding Beras (80 g, 5 mg dan 0,8 mg). Keunggulan beras dibanding sagu yang paling mencolok adalah terletak pada kandungan protein dan fosfor yang mencapai 10 kali kandungan yang ada pada sagu. Sedangkan kandungan lemak Sagu (0,2 g) sedikit lebih rendah dibanding beras (0,5 g). Rendahnya kandungan lemak Sagu ini sering dikaitkan dengan rendahnya kemungkinan penimbunan kadar kolesterol yang dapat meningkatkan resiko serangan jantung.
       Ukuran lainnya adalah secara tradisional pelepah sagu telah digunakan sebagai dinding, pagar atau plafon rumah yang bisa tahan sampai 40 tahun. Daun sagu juga sudah biasa dipakai sebagai atap rumah yang bisa tahan hingga 10 tahun. Atau bisa juga digunakan sebagai keranjang untuk membungkus pati sagu sampai ke tudung makanan dan kulitnya dapat digunakan sebagai bahan bakar.

Kecocokan secara Ekonomi
       Mengukur parameter ini mestinya memakai hitungan input – output ekonomi yang sedikit rumit. Kerumitan ini bertambah pada saat data yang dibutuhkan juga tidak mudah untuk didapat atau dihitung. Kebanyakan petani atau pelaku usaha industri Sagu tidak mengeluarkan output yang berarti untuk bisa memanen Sagu. Sagu masih dipandang sebagai tanaman hutan dan tumbuh secara alamiah yang siap untuk dieksplorasi. Hitungan B/C rasio, hampir dapat dipastikan akan didapatkan angka keuntungan yang tinggi dalam setiap usaha produksi Sagu.
       Keuntungan lain Sagu, jika dibandingkan dengan sumber karbohidrat lainnya adalah bahwa hingga saat ini kita tinggal memanen tanpa harus menanam dan memelihara; pohon Sagu dapat tumbuh dengan baik di rawa-rawa, daerah pasang surut, termasuk tanah gambut yang tebal, dimana tanaman penghasil karbohidrat lainnya sukar tumbuh; pemanenannya tidak tergantung musim sehingga memudahkan dalam penyimpanan, distribusi dan pemasaran; hasil panennya dapat diSecara industri, limbah batang sagu juga telah diteliti bisa diolah jadi briket dan ampasnya bisa dijadikan sebagai bahan bakar, medium jamur sampai hard board. Sedangkan patinya dapat digunakan sebagai bahan perekat, alkohol, makanan ternak, bahan pengisi industri plastik, diolah menjadi protein sel tunggal, dekstrin (pemanis) ataupun siklodekstrin untuk industri pangan, kosmetik, farmasi sampai pestisida. Permintaan Sagu dari luar negeri saat ini masih tinggi dan berasal dari negara Taiwan, Singapura, Belanda, Jepang, Amerika Serikat, Australia dan Hongkong.
       Nah, jika secara bofisik Sagu cocok untuk dikembangkan, secara sosial dapat diterima oleh masyarakat setempat, secara ekonomi bisa mengutungkan sehingga berpeluang untuk dapat mewujudkan ketahanan pangan di Maluku, masihkah kebijakan pemerintah daerah belum berfihak pada Sagu. Jangan sampai suatu saat nanti, Maluku membeli Sagu dari Malaysia untuk sekedar membuat Papeda.

Komentar

  1. apakah lahan sagu sudah dipetakan pak, untuk halmahera barat, khususnya. tanks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Areal sagu di Pulau Halmahera Provinsi Maluku Utara, sudah dipetakan, namun datanya sudah cukup lama Tahun 1982-an. Trims

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAJU BERSAMA ‘EMBAL’ DAN ‘KACANG BOTOL’ : Kisah Inspiratif Optimalisasi Lahan Kering Desa Debut, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara

  Andriko  Noto  Susanto Jogjakarta , 21 Juli 2011 Jalan utama Desa Debut D esa Debut terletak di kecamatan Kei Kecil, kabupaten Maluku Tenggara. Desa ini dapat dijangkau melalui jalur darat selama ± 45 menit dari Langgur dan ± 60 menit dari Kota Tual. Total luas desa sekitar 2.619,36 ha, terdiri dari hutan sekunder seluas 1.800 ha, perkebunan rakyat dengan pola campuran seluas 400 ha, lahan kritis/tandus seluas 250 ha dan sisanya adalah pemukiman. Embal Lempeng     ‘ K eperkasaan’ kaum hawa di desa Debut  tidak perlu diragukan lagi. Setelah kaum pria berhasil membuka hutan untuk perladangan, kaum perempuanlah yang secara aktif mengelola dari penanaman, penyiangan, panen, pascapanen, pengolahan hasil sampai siap dikonsumsi keluarga. Masyarakat berjibaku menaklukkan lahan kering agak berbatu, kekurangan air, dan gangguan hama (babi hutan) untuk bertahan hidup. Penyatuan masyarakat bersama alam dan cara ‘main otak’  kaum perempuan membawa desa Debut sukses berkembang menjadi

KACANG LAGA : Si biji Besar dari Pulau Letti

Andriko Noto Susanto Jogjakarta, 17 Juli 2011 P ulau Leti termasuk dalam gugusan kepulauan Lemola (Leti Moa Lakor) masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Provinsi Maluku. Titik tengah Pulau ini berada pada 127°40'17,04"E & 8°11'49,18"S.  Secara administrasi seluruh wilayah masuk dalam kecamatan Pulau Leti dengan 7 desa/kelurahan yaitu Laitutun, Batumiau, Tutkey, Tomra, Nuwewang, Tutuwaru dan Luhulely. Pulau ini termasuk wilayah dengan aktivitas ekonomi relatif  maju seperti halnya Pulau Kisar. Ukuran Pulau Leti hampir sama dengan Pulau Kisar. Luas Pulau Leti hanya 9.230 ha, dengan keliling Pulau sekitar 45 km, didiami oleh sekitar 8.442 jiwa penduduk.   D i Pulau ini terdapat satu jenis kacang tanah spesifik lokasi yang oleh masyarakat setempat di sebut “KACANG LAGA”. Kacang ini mempunyai ukuran polong dan biji lebih besar dibanding kacang tanah pada umumnya. Bobot 100 biji kacang laga adalah 77,8 gr sedangkan bobot 100 biji kacang tanah pada umumnya

SUKUN KOTA TERNATE : SUMBER PANGAN YANG BELUM TERGARAP

Sukun ( Artocarpus communis ) merupakan komoditas hortikultura yang sudah dikenal dan berkembang di Maluku Utara. Buah sukun cukup banyak mengandung karbohidrat, sehingga mempunyai potensi sebagai bahan pangan alternatif untuk pengganti beras (diversivikasi pangan) dalam mendukung ketahanan pangan dan bahan olahan lainnya. Pada umumnya, buah sukun di Maluku Utara banyak dimanfaatkan sebagai makanan ringan (camilan), dengan direbus, digoreng maupun dibuat keripik. Untuk diversifikasi makanan, buah sukun dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, salah satunya adalah tepung sukun.  Hasil inventarisasi sukun di Maluku Utara terdapat : (1) Populasi tersebar di semua Kabupaten/Kota di Maluku Utara, yang spesifik terdapat di Maitara dan Kepulauan Sula. Di Maitara ada dua jenis sukun, yaitu sukun telur dan sukun batu (nama lokal); (2) Tinggi pohon berkisar 10-15 m, dengan lebar kanopi + 5 m dari cabang-cabang yang melebar ke samping; (3) Rata-rata umur sukun di Maluku Utara pada